Day 5

4 0 0
                                    

-
   )
-

Tubuh rapuh anaknya terbaring di ranjang rumah sakit. Matanya terpejam terlihat menahan berbagai rasa sakit. Benar apa kata suaminya, tak mungkin mereka menyiksa lebih dalam putra bungsunya.

"Malaikatnya Bundaa. Bangun dong, Bunda bawain sarapan nih." ia sedikit memiringkan mangkuk bubur untuk menunjukkannya pada Alvean.

Bunda menarik kursi dan duduk di samping putranya berbaring. Ia melihat dengan seksama wajah pucat milik Alvean, wajahnya sedikit tirus tetapi mengapa ia tak menyadarinya?

"Alvean katanya minta sepatu bola ya?, Bund udah beliin nih di toko. Bunda juga beliin senar gitar buat Vean. Trus tadi Bunda juga liat banyak banget gitar di toko. Kalo Vean udah bangun Bunda ajak deh kesana."

"Vean sakit ya sayang?, Kenapa ngga bilang sama Bunda dari kemarin?. Kamu takut Bunda marahin ya gara gara sakit?, Tapi untuk kali ini Bunda ngga akan marah kok, selama Vean mau bangun dan Bunda bisa liat senyum Vean terakhir kalinya."

Ia menyeka air matanya, bicaranya tampak tegar sekali dengan senyuman hangat yang biasanya. Namun tak ayal ia merasa sakit saat tak ada balasan dari putranya. Seharusnya tadi malam ia tak menasehati putranya, dan hanya menyalahkan Alvean. Seharusnya ia tanya dahulu mengapa Alvean berlaku demikian, bukan langsung menyimpulkan. Tapi semuanya terlambat, putranya sudah terbaring tanpa kesadaran di hadapannya. Wajah pucat pasi yang membuatnya takut, dengan hembusan nafas yang kecil membuat dirinya khawatir hembusan nafas itu akan berhenti.

Padahal putranya mengatakan ingin menjadi pemain bola yang hebat. Alvean juga dulu ingin sekali membawakan lagu untuk Bundanya dengan gitar pemberian dari Alvian. Saat saat itu manis sekali jika di ingat. Tapi sekarang?, Ia hanya bisa meratapi putranya yang tak bisa meraih mimpinya.

"Bunda boleh nangis ngga?"

"Dulu Vean kan nyuruh Bunda ngga boleh nangis, tapi untuk sekarang Bunda sedih sayang."

Satu air mata jatuh ke telapak tangan Alvean yang tengah di genggam Bundanya,

"Maaf yaa."

"Kamu jangan merasa bersalah karena Bunda nangis, ini bukan salah Vean kok."

Merasa percuma dengan bicaranya yang tak kunjung mendapat balasan, Bunda menaruh kepalanya pada sisi ranjang yang kosong. Ia membawa tangan kurus yang menyusut itu dalam kecupan terdalamnya. Matanya juga melirik mata lain yang terpejam begitu erat, membuatnya takut mata itu tak akan terbuka lagi suatu saat.

Sedikit merasa ada pergerakan dari jemari putranya ia bangkit dengan perasaan tak karuan, "sayang?, jari kamu gerak nakk??" kalut Bunda menekan tombol yang ada di atas ranjang untuk memanggil dokter. Tak lama dokter datang dengan suaminya yang kebetulan baru saja sampai di rumah sakit. Dokter tampak sedikit kaget karena ternyata Alvean baru saja melewati masa kritisnya.

Bunda melepaskan tangisnya dalam pelukan suaminya, ia bahagia, teramat bahagia bahwa mata itu akan kembali terbuka, bahwa bibir itu akan tersenyum lagi, bahwa kehangatan akan tersalurkan oleh wajah itu.

Ayah tersenyum lega, hampir saja tadi panik saat melihat dokter masuk ke ruangan putranya. Untung saja kabar baik yang datang.

Kedua orang tua itu bersyukur putra bungsu mereka masih di beri kesempatan hidup oleh Tuhan.

-
   )
-

Alvean memaksa kedua orangtuanya untuk dirinya di rawat di vila saja. Tentu langsung mendapatkan larangan tegas dari keduanya. Namun Alvean bukan Alvean jika tak berhasil membujuk kedua orangtuanya dengan rayuannya. Ia juga menggunakan ancaman mautnya dengan mengatakan tak akan mau makan jika tak pulang. Bunda yang pertama kali takut dengan ancaman itu langsung saja mengiyakan, ia pikir mungkin hanya ini yang bisa ia lakukan demi putranya.

Satu pekanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang