Day 4

1 0 0
                                    

-
   )
-

Alvean sudah berguling guling saja di pasir. Senyumannya terlihat menjengkelkan, namun bagi kedua orangtuanya dirinya lucu sekali. Tingkahnya yang masih manja, cerewet, cengeng, menjadi dirinya yang abadi di kenangan orang tuanya.

"Woi Alvian! Ayo sini!" ia berteriak dan berlari untuk menyeret kakaknya. Alvian dengan wajah yang horizontal datar itu pasrah saat kakinya di kubur hingga selutut. Dengan usaha semaksimal mungkin ia mencoba lepas, setelah sekian lama akhirnya bisa lepas juga, secepat kilat ia mengejar adik durhakanya itu,

"ALVEANN SINI KAGAK LO!!" Alvean yang di kejar hanya tertawa puas, matanya sampai tertutup membentuk bulan sabit. Tawanya membuat sedikit kemarahan Alvian terpendam, kini Alvian ikut tertawa sambil mengejar adiknya untuk balas dendam,

"Bundaaaa Ve di kejar titann!!!" Bundanya hanya membalas dengan tawa dalam rangkulan pundak Ayah.

"Bundaaa Vean kemarin berak ngga di cebok!"

"Apaan lo bawa bawa tai gue?!"

"Terserah gue!"

"Tai gue juga butuh privasi!!"

Kakak adik itu semakin semangat dalam main kejar kejaran, orang sekitarnya pun terheran heran dengan kelakuan mereka.

Sampai akhirnya mereka berhenti sendiri dengan nafas terengah-engah, keduanya berbaring di atas pasir dengan baju setengah basah, "gue turun satu kilo pasti."

"Jangan ngimpi..." Alvian mengambil nafas lagi, "...tadi pagi nasi goreng tiga piring ngga lo itung bikin BB lo naik?"

"Ya kan gue laper."

"Laper apa kerasukan?"

"Emang ada bedanya?"

Alvian memutar bola matanya malas, menghembuskan nafas untuk mengeluarkan kata kata mutiara, "stress."

Atensi Alvean teralih yang hendaknya ingin marah, kini pandangan keduanya beralih ke bunda yang tengah duduk sambil membaca alat pancing. Mata Alvean berbinar sembari berlari cepat ke Bundanya, "kita mau mancing bund??"

"Iya dong" sahut Bunda mengusap usap gemas surai putra bungsunya, "mau mancing apa bund??" Alvean membawa alat pancingan ke genggamannya, saat Bunda hendak menjawab tiba tiba Alvian memotong dengan sarkas,

"Mancing emosi. Ya mancing ikan lah, pake nanya." diliriknya sinis kakak sulungnya itu, ingin sekali nanti saat memancing Alvian di jadikan umpan.

"Panu buaya ngga di ajak. Gue mau healing sama Bunda." ujarnya sombong sambil merangkul Bunda yang tampak pendek di rangkulannya. Kakaknya pun tak mau kalah, ia menarik tangan Bunda dan berucap memelas, "bund tadi Vean dorong aku ke laut."

Segera Alvean mengelak,

"HEH!!, Fitnah itu lebih kejam daripada ngga punya duit!, Jangan sembarang kalo ngomong!!" yang di fitnah sudah menggulung lengan pendeknya sampai bahu, mengambil ancang-ancang untuk berkelahi. Dan lihatlah sekarang, Alvian sudah memasang wajah minta di pukul olehnya.

"Sudah sudah, nanti habis kesabaran cewe Ayah ngadepin dua tuyul kaya kalian." Ayah yang datang langsung melerai keduanya dan memberi jitakan untuk masing masing.

"Iya deh si paling punya cewe." ejek kedua Al itu bersama sama, membuat keduanya cekikikan bersama.

Ayah mengerucutkan bibirnya dan mengadu ke istrinya, "kan aku dah bilang dulu kalo ngidam jangan es buah campur terasi, jadi gini kan anaknya!" kesal Ayah mengingat Bunda yang dulu ngidam selalu aneh aneh.

Bunda hanya terkekeh geli, suaminya tak pernah malu manja di hadapan putra putranya, "emang kenapa?, toh aku juga kan yang pusing bukan kamu."

"Trus kamu mau aku luput dari tanggung jawab?, Ngurus anak kan di kerjain bareng bareng bukan diserahkan seluruhnya ke istri. Kamu pusing ya aku juga harus pusing, anakmu ya anak kita juga." Ayah makin jengkel sekarang. Berbeda dengan Bunda yang terdiam, hatinya benar benar tersentuh dengan ucapan suaminya, tulusnya bisa di rasakan setiap detik, kesungguhan untuk selalu membahagiakan bukan hanya omong kosong, pria itu benar benar menepati janjinya.

Satu pekanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang