Raila berlarian kecil menuju halte. Sudah pukul 07 : 15 dan limat menit lagi akan bel. Otomatis gerbang sekolah akan ditutup. Hari ini, adalah hari Senin. Dia tidak boleh terlambat, jika tidak, akan dihukum di tengah lapangan.
Selain di jemur di terik matahari, Raila juga tidak mau di tegur guru, tentu saja karena dia adalah wakil ketua OSIS. Harus memberikan contoh yang baik.
Tetapi lihat saja sekarang. Baik bus maupun angkutan umum tidak ada yang melintas. "Mampus gue!"
Tin-tin!
Bunyi klakson mobil itu cukup membuyarkan lamunan nya. Ah, dia kenal plat mobil itu.
"Ayo, La"
Tanpa pikir panjang Raila pun membuka pintu mobil itu dan berjalan masuk. Dia duduk tepat di samping pengemudi.
"Mampir ke SD, lagi?
"Hehe iya, Bim" jawab Raila setelah selesai memasang sabuk pengaman.
Bima hanya menggeleng kepala kemudian menjalankan mobil nya. "Nganter Raina?"
"Iya Bima."
"Kan, lo bisa nunggu gue, La. Kenapa juga gak mau di anter-jemput Pak Tarno lagi?" Tanya Bima, pandangan nya masih lurus fokus menatap jalanan.
"Ehm biasalah, hehehe."
"Lagian SD Rania kan juga deket sama rumah lo, La? Masa Raina nggak bisa pergi sendiri?"
"Ehm. Bisa kok Bim. Tapi gue aja yang mau ngasih perhatian lebih ke dia, walupun perhatian kecil. Setidaknya dia gak sendirian sewaktu pergi sekolah."
Bima menatap Raila sekilas. Gadis itu menunduk sedang memainkan kukunya. Pasti ia menyinggung perasaan Raila.
"Maaf, La."
"Eh nggak apa-apa, Bim."
"Karena itu yah? Lo jadi berhenti dari caffe bunda? Gue tau pasti lo punya sebab. Tapi, kenapa lo juga nolak uang bulanan bunda, La?"
Raila mengehentikan aktivitas nya. Kini dia menatap keluar jendela. Gadis itu merasa sangat bersalah. Bagaimana tidak? Kemarin itu, tiba tiba saja dia berhenti bekerja di cafe bunda Bima. Bukan hanya itu, Raila juga tidak ingin menerima pemberian dari bunda Bima maupun Bima sendiri.
Raila hanya berpikir, tidak mau menyusahkan dan bergantung kepada Bima dan keluarga nya lagi. Sudah cukup waktu 3 tahun, mereka membantu kehidupan Raila.
"Maaf, Bim. Maaf karena gue berhenti secara tiba tiba. Gue cuman pengen lebih banyak waktu buat Raina dirumah. Dan, gue juga makin lemah Bim. Gue takut makin nyusahin lo dan bunda nantinya. Gue cuman pengen lebih bisa mandiri buat diri gue sendiri. Sekarang aja gue belum bisa bales kebaikan lo dan keluarga lo Bim." Ucap Raila sambil mengusap air matanya yang turun begitu saja.
Bima yang sadar akan itu pun berhenti tepat saat mereka telah sampai di depan gerbang sekolah. Gerbang masih terbuka setengah, dan masih banyak murid yang berlarian masuk.
Bima merasa sedikit bersalah karena menyinggung soal itu kepada Raila. Padahal niat nya tadi hanya ingin mengetahui alasan mengapa Raila berhenti bekerja. Tetapi, malah menyinggung perasaan gadis itu lagi. "Gue gak bermaksud kaya gitu, La. Gue dan keluarga juga gak pernah minta balas budi, lo, La. Kita semua sayang sama lo, tulus. Maaf, La. Gue jadi buat lo nangis."
Saat Bima ingin menyentuh wajah Raila untuk menghapus air matanya, Raila dengan cepat menangkisnya. "Gue nggak papa kok, Bim. Oh iya, gue masuk duluan yah. Makasih, karena lo gue nggak jadi telat. Lagi."
Setelah itu Raila turun dari mobil Bima. Meninggalkan Bima yang masih menatap punggung gadis itu dengan tatapan sendu.
"Gue tau, La. Lo gak sekuat yang lo liatin ke orang orang."
KAMU SEDANG MEMBACA
SECRET
Teen FictionRahasia diatas kertas. Rahasia konyol dengan sebuah perjanjian diatas materai. Telah selesai ditandatangani ketua OSIS dan wakilnya. "Berapa gaji bertama gue?" "Tiga puluh juta." "Okeiii, deal!"