Orang-orang mengatakan bila rindu haruslah bertemu, tetapi bisakah hal itu dilakukan bila dunianya sudah berbeda? Begitu pula yang dicoba oleh seorang gadis yang tengah menatap gundukan tanah didepannya dengan pandangan sendu. Air mukanya sangat tenang, tetapi saat ditelaah mendalam yang didapat hanyalah kesedihan.
"Tuhan memanglah adil, dia sangat menyayangimu hingga kau dipanggil untuk bersamanya. "
"Aku terlambat untuk mengucapkan ini, aku sungguh mencintaimu."Tetesan bening mulai turun dari kelopak indah sang gadis. Dirinya menunduk penuh sesal. Andai dia lebih cepat menyadari bahwa itu hanya salah paham, andai dia tidak egois, andai dia percaya-takdir ini tak kan terjadi.
"El, kita harus segera pulang."
Eilleithyia-gadis itu mendongak untuk melihat orang yang bersuara itu. Seorang lelaki yang senantiasa menemaninya tuk berkunjung ke tempat ini. Dia mengangguk mengiyakan, segeralah dia bangkit dari tempatnya setelah berpamitan dengan pemilik gundukan tersebut.
"Sudah waktunya aku pulang, aku berjanji akan menemuimu kembali."
"Ayo, kita kembali. Mereka pasti khawatir."Lantas lelaki bersurai hitam legam itu memandang tubuh gadis yang melewatinya, dan ia pun segera menyusul gadis tersebut. Kemudian mereka segera pergi meninggalkan area pemakaman itu. Di dalam mobil keadaannya pun tak berbeda jauh, hanya suara dari radio yang diputar tuk menemani keheningan.
"Sepertinya perkiraan cuaca salah. Harusnya tidak terjadi badai."
Ucapan itu dianggap angin oleh El, dirinya terlalu sibuk memandangi badai dari dalam kaca mobil. Hujan yang deras, angin ribut yang menggerakkan pohon-pohon dengan kencang membuat jalanan semakin buram.
"El, kita menepi dulu ya?"
Dirasa cuaca yang semakin menjadi dan kemungkinan akan berbahaya bila perjalanan dilanjutkan, lebih baik ia menurut. Dia tidak mungkin membuat seseorang kehilangan nyawanya lagi. Lantas ia mengangguk tuk mengiyakan hal itu. Mobil yang ditumpangi mereka pun diberhentikan disekitar ruko kosong.
"Sepertinya badai akan berakhir besok."
"Mama dan papa pasti khawatir, aku akan menghubungi mereka dulu.""Iya."
El hanya diam sembari bersandar ke sandaran kursi. Dirinya merasa seperti orang yang tidak berguna sebab banyak menyusahkan orang disekitarnya termasuk lelaki yang sedang bersamanya ini. Dia Leon-adik kembar dari El yang senantiasa menemani dirinya mengunjungi tempat tadi. Terhitung sudah lima tahun terakhir dia selalu ke tempat itu pada tanggal yang sama.
"Terima kasih Leon."
"Huh, kenapa kau tiba-tiba berbicara seperti itu?"
"Sebab hanya dirimu yang selalu menemaniku untuk mengunjunginya. Jadi aku berterima kasih."
"Tidak perlu berterima kasih, aku akan selalu melakukannya tanpa kau pinta sekalipun."
El bisa melihat ketulusan dari ucapan adik kembarnya itu. Sepertinya benar bila dia dulu sangat egois dan tak mau melihat sekeliling. Tak terasa pipinya kembali basah saat mengingat hal tersebut.
"Hei, mengapa kau menangis?"
"Mama dan papa bisa menggantungku bila melihatmu menangis.""Aku sangat egois Leon. Dia pergi sebab keegoisanku."
"Lebih baik aku yang pergi bukan?""Hentikan bicaramu yang melantur, Eero pasti akan sedih bila mendengar ini."
Eero-orang yang selalu dikunjungi oleh El pada tanggal yang sama pada lima tahun terakhir ini. Lelaki yang dulunya selalu bersama dengan El.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana nan Aksa [On Hold]
Cerita PendekLayaknya rindu yang tak berujung, layaknya memori yang tersimpan rapi di dalam kenangan, begitu pula senyumnya yang membuat rasa sakit ini ada. Hanya sebuah kisah klasik seorang pemuda yang jatuh cinta, penuh lika-liku dan pengorbanan, serta penyesa...