Surat undangan yang sampai seminggu yang lalu membuat Heya bahagia setengah mati. Surat itu sekarang ia dekap di dadanya. Ia langsung menelepon Kafka, tentu saja kekasihnya harus menjadi orang pertama yang tahu. Setelahnya, ia menelepon Ayumi, adik satu-satunya yang kini sedang menempuh kuliah di mantan kampusnya. Kalau adiknya sudah tahu, berita akan tersebar dengan cepat.
Heya melirik arloji hadiah ulang tahun kedua puluh lima dari Kafka, tak terasa usia arloji itu hampir satu tahun. Pukul tujuh pagi. Sudah susah-susah izin setengah hari kerja di tanggal 30 Desember, ternyata hampir telat juga. Ia bahkan memaksakan diri naik taksi ketika kendaraan itu membuatnya takut setengah mati.
"Pak, saya turun di sini saja ya," ujar Heya seraya membuka pintu dan memberikan selembar uang lima puluh ribu rupiah.
Sopir taksi menoleh, "ini kebanyakan, Non." Ia hendak mengembalikannya, namun Heya dengan cekatan menunjukkan telapak tangannya bermaksud menolak.
"Ambil saja kembaliannya, Pak. Terimakasih," ujarnya seraya berlalu meninggalkan sopir taksi yang tampak bingung. Bagaimana pun tarif yang tertera tak lebih dari setengah uang yang diberikan Heya.
Pagi tadi, ia keluar dari rumahnya pukul lima. Untuk berjalan menuju halte bus, perlu sekitar lima belas menit dan kemudian ia lanjut naik bus dua kali transit memakan waktu sekitar satu jam. Melihat waktunya tidak cukup banyak namun belum sampai juga di halte tujuan, ia terpaksa turun dan menghentikan taksi yang lewat. Perlu sekitar sepuluh menit naik taksi, hanya saja macet memakan waktu lebih dari setengah jam dan di sini dia sekarang.
Tidak seperti macet biasanya, terjadi kecelakaan di perempatan antar pengemudi angkot dan sepeda motor. Ada gunanya juga ia turun, karena macet itu kemungkinan cukup lama dan ia benar-benar akan terlambat.
Napas Heya hampir hilang kalau tidak berhenti sekarang. Ia membeli sebotol air mineral dingin dari pedagang asongan yang hendak naik bus. Ia duduk sebentar, mengecek lagi undangan yang hampir lusuh karena sudah berkali-kali ia cek untuk memastikan kalau maksud di undangan itu memang sesuai, baik tempat, waktu, juga lokasi dan yang terpenting ia tidak sedang bermimpi.
Ia memerhatikan sekilas kop surat yang bertuliskan Simply Publisher di Jalan Wahid Hasyim, nomor 326, Menteng, Jakarta Pusat. Ia sudah berada di jalan yang sama. Ketika memerhatikan namanya sekali lagi, Seheya Bintang Utami, tiba-tiba matanya melebar dan terkejut melihat selembar kertas putih itu terbang. Ia langsung bangkit seketika menjatuhkan sebotol air mineral dingin di tangannya.
Detak jantungnya memburu karena terkejut sekaligus khawatir, sepertinya ia sudah panas dingin. Beberapa detik berikutnya, ia bisa bernapas lega karena kertasnya tersangkut di windscreen wiper sebuah mobil Pajero Sport berwarna merah marun yang terparkir di depan tempatnya berdiri sekarang, yang berarti tidak akan terbang jauh ke mana-mana. Heya sejenak bisa bernapas lega karena untungnya tidak ada si pemilik mobil. Cukup konyol memang kalau ketahuan seperti itu. Ia akan mengutuk dirinya sendiri sebagai gadis terbodoh di dunia.
Ia mengenakan gaun hitam transparan sesiku dengan panjang selutut berbahan brokat, untuk bahan bagian dalam yang tidak transparan hanya di area ketiak sampai paha saja. Gaun itu tampak mewah meskipun sederhana, hanya saja sekarang sudah sangat lusuh. Untungnya warna hitam membantu untuk tidak memperlihatkan keadaan yang sebenarnya.
Sepatu bot cokelat muda berbahan kulit dengan tinggi hak sekitar lima sentimeter berhasil membantunya berjinjit. Ia hampir menarik sudut kertas yang tepat berada di tengah-tengah kaca mobil. Namun, ia malah terkejut dengan bunyi mobil yang tiba-tiba muncul. Suara yang biasa ia dengar, ketika kunci mobil dipencet seseorang ke arah mobil, menandakan si pemilik datang.
"Astaga!" runtuknya kesal. Peluh sudah membasahi seluruh wajahnya, keringatnya menetes hingga leher dan seluruh lengannya bahkan masuk sampai melewati seluruh tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CALL YOU MINE
Romance"Lain kali boleh kutraktir secangkir kopi?" tanya Heya hati-hati, suasana mereka memang tampak canggung. Apalagi, mengobrol di tengah jalan agak tidak etis. Pria itu tersenyum lebih lebar hingga membentuk bulan sabit. "Kau paham maksud dari mentrak...