3. pipi merona bibir membiru

4 0 0
                                    

Keringat yang hari ini Heya korbankan ternyata tidak sia-sia. Kontraknya lancar dan sesuai seperti yang ia harapkan, kecuali satu. Ternyata menerbitkan naskah tidak semudah yang ia pikirkan. Perlu melalui tahap editing, pemilihan sampul buku, mencetak hingga mempublikasikan. Setidaknya, ia perlu menunggu hingga dua sampai tiga bulan lagi hingga semua tahap selesai.

Hawa dingin air conditioner mampu menembus gaun brokat tipisnya. Ia tidak menyangka gara-gara izin setengah harinya, justru banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan. Apalagi karena besok libur.

Suara telepon berbunyi benar-benar mengejutkannya. Cklek. Ia langsung mengangkat.

"Kau masih di kantor, Ya?" tanya seorang pria dengan suara berat, atasannya.

"Ya, Pak. Ada apa, Pak?" tanya Heya kemudian.

Pria itu terdengar menghela napas, ada rasa bersalah di dalam dirinya. "Kau selesaikan besok saja, Ya. Besok saya bantu, hari ini saya benar-benar ada acara peringatan pernikahan saya," ujar pria itu dengan khawatir.

"Besok sudah libur, Pak. Saya harus menyelesaikannya sekarang," jelas Heya dengan sebisa mungkin menggambarkan perasaan baik-baik saja.

"Kau yakin tidak apa-apa?" tanya bosnya lagi.

Heya tersenyum, seolah sedikit tenang karena ada yang memedulikannya seperti itu. "Tidak apa-apa, Pak. Sebentar lagi juga selesai," tegasnya seraya menutup telepon.

Bersamaan dengan itu, ponselnya berbunyi, sebuah nomor tidak dikenal. Rasanya, ia pernah melihat nomor itu di suatu tempat, bagaimana pun karena nomornya terdiri dari kombinasi angka yang cantik.

"Ya, halo!" ujar Heya mengawali.

"Halo, Seheya?" sahut di balik telepon seolah memastikan, suara yang terdengar familier.

Heya setengah berpikir. "Siapa ya?" tanya gadis itu akhirnya setelah tak menemukan siapa pun yang memiliki kemungkinan menjadi salah satu penelepon.

"Secangkir kopi. Bagaimana kalau aku menagihnya sekarang?" tegas seseorang dari balik telepon, dari nada bicara terdengar ditambah sedikit tawa.

Heya menghela napas panjang setelah mendadak merasakan jantungnya berdegup dengan cepat. "Aku tutup," sahutnya singkat dan langsung ia tutup.

Telepon itu benar-benar membuat dirinya kehilangan fokus. Pekerjaannya harus diselesaikan sekarang juga. Akhirnya Heya kembali fokus dengan komputernya, membuat persentasi dan laporan keuangan persis seperti yang diminta. Suasana hening dengan bertemankan musik dari ponselnya menghilangkan ketakutan di malam itu.

"Waduh, bagaimana caranya aku pulang?" ujar Heya tersadar ketika melihat ponselnya yang menunjukkan pukul dua belas malam kurang.

Pekerjaannya sudah selesai, sudah dikirim ke Bu Wulan, pimpinannya yang dikenal sangat arogan. Ia juga selesai membereskan beberapa berkas dan meletakkan di lemari, selain itu ia bersiap untuk pulang.

Kantornya yang bukan di lantai tertinggi sebenarnya tidak terlalu bermasalah, hanya saja cukup menakutkan juga di lantai dua sendirian. Namun, ia berhasil keluar dan bertemu satpam di pos satpam. Lampu sudah benar-benar dimatikan yang berarti, dirinya adalah karyawan terakhir yang keluar kantor hari ini.

Heya berjalan menyusuri jalanan yang tampak lenggang. Keadaan sesepi ini tak akan ditemui di siang hari, hanya saja cukup memuaskan karena ia mengerjakan semuanya tepat waktu meskipun sangat melelahkan.

Terhubung. Ia menelepon Kafka setelah beberapa kali dan akhirnya Kafka mengangkat.

"Ada apa, Sayang, sudah malam," ujar kekasihnya dari balik telepon.

CALL YOU MINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang