Usapan tangan miliknya di kepala Taufan terus dilakukan sejak setengah jam yang lalu, mungkin. Penyebabnya simpel, anak ini terus mengerang dan berkeringat dingin. Mimpi buruk, pikirnya. Dia melihat ke arah Gempa dan mendapati adiknya yang satu itu terus menggenggam tangan Taufan walau sudah jatuh terlelap. Raut wajah mereka bertolak belakang, Taufan yang seperti dikejar sesuatu dan sebaliknya Gempa yang tenang seperti genangan air tanpa riak.
Halilintar mengabaikan tanggungan pekerjaannya. Sejak dua hari yang lalu dia sering begadang lebih lama demi menemani kedua adiknya sampai tertidur dengan tenang. Kata Yaya, salah satu pendekatan diri yang cukup manjur adalah dengan tidur bersama. Mungkin ketika mereka pindah ke rumah nanti kebiasaan ini akan diubah dan si kembar akan diberi kamar masing-masing. Tapi Halilintar akui, menemani mereka cukup menyenangkan.
Walau agak mengkhawatirkan juga.
"Ugh... hiks, enggak... jangan... Gempa... hiks hiks..." Taufan kembali meracau dalam tidurnya. Halilintar sudah mengecek berulang kali apakah bocah itu demam namun hasilnya tetap sama, suhu badannya normal.
"Sshh... tenanglah. Tidurlah dengan tenang," dia menepuk dada Taufan pelan. Tangan kecil itu menggapai udara dan segera Halilintar menangkapnya lalu menggenggam lembut. Dia meletakkan tangan Taufan di atas dadanya dan kembali menepuk seperti sebelumnya.
'Sayang sekali aku tidak tahu lagu tidur anak,' pikir Halilintar sembari terus mengawasi kembar.
Halilintar mulai berfikir, ini baru beberapa hari bersama mereka tapi perubahan sikapnya dia akui sendiri cukup drastis. Ketika bicara kasar dia akan mengeremnya sedikit, atau dia samarkan. Dia bicara lebih lembut (walau hanya saat bersama dengan mereka). Dia juga mulai masak sendiri lagi setelah sekian lama karena anak-anak memang harus sering makan masakan rumahan daripada restoran seperti yang sering dia makan selama ini.
Dan Halilintar akui, waktu menjemput mereka berdua ketika pulang kerja di klinik milik Yaya juga cukup menyenangkan. Melihat mereka antusias menyambutnya walau masih malu-malu tapi itu terlihat menggemaskan dan lebih cukup. Lelah yang dia timbun sejak di kantor juga ajaibnya sirna begitu saja saat menatap mata polos mereka.
Semoga dia dan adik-adiknya bisa lebih dekat lagi seiring waktu berjalan. Semoga.
.
.
.
Kali ini Taufan terbangun dengan wangi yang enak menyapa indra penciumannya. Gempa masih terlelap dengan posisi persis seperti terakhir dia ingat. Taufan bertanya-tanya apa kembarannya itu tidak capek dengan hanya satu posisi tidur seperti itu. Ah, tapi Taufan tahu betul kenapa Gempa bisa senyaman itu, selama ini mereka tidur dengan perasaan sangat terganggu. Sering kali tidur di lantai yang dingin dengan selimut tipis sebagai alas karena tempat tidur mereka tidak layak lagi. Memikirkan itu membuat Taufan menggeleng cepat.
Tidak, nasib mereka sudah berbeda sekarang. Mereka akan baik-baik saja.
"Taufan?"
Taufan menoleh ke arah Gempa yang sudah duduk dan mengucek matanya. Masih belum bangun sepenuhnya.
"Baunya, wangi," gumam Gempa. Taufan mengangguk sambil tersenyum.
"Iya. Kamu sudah bangun? Ayo keluar kalau sudah, katanya hari ini kita akan ke tempat Dokter Yaya lebih cepat," kata Taufan yang dibalas anggukan Gempa.
Gempa mengerjabkan matanya guna melihat lebih jelas.
"Sudah."
"Bagus, ayo cepat keluar," kata Taufan dan turun dari tempat tidur bergantian dengan Gempa.
Kali ini mereka tidak kesusahan untuk proses turun maupun naiknya.
.
Taufan di atas, Gempa di bawah. Kedua anak itu mengintip dari balik dinding yang memperlihatkan dapur dengan jelas. Halilintar ada di sana dan sibuk dengan memasak. Dia terlihat bicara dengan seseorang melalui video call di gadget miliknya yang diletakkan dalam posisi berdiri di meja dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
everything will be okay
FanfictionMungkin bagi Halilintar terasa sangat sulit untuk memulai awal baru dengan mereka. Dari berbagai kejadian, potongan masa lalu menyakitkan, sampai masa depan yang buram. Semuanya terlihat samar, tidak ada yang menggenggam tangan mereka. Tapi Halilint...