bab 9 - sudah pindah

687 108 20
                                    

Note: ada penggambaran tentang bagaimana rumah mereka. Disclaimer! Foto ini diambil dari Pinterest. Kira-kira begini model rumah mereka bagian samping;

 Kira-kira begini model rumah mereka bagian samping;

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yap, begitu. Sekarang lanjut ke cerita.


.

.

.

Hujan. Dari kejauhan terdengar gemuruh guntur tapi tidak ada kilatan petir di awan kelabu. Taufan melihat deras air yang jatuh di balik dinding kaca yang menghadap ke arah taman kecil rumah mereka.

Oh, rumah mereka. Memikirkan hal ini saja sudah membuat senyum di wajah manis itu tersimpul menyenangkan. Beberapa waktu lalu, Taufan masih berpikir kalau hujan adalah hal yang cukup menyeramkan. Tapi hujan juga lah yang sering membuatnya terdistraksi dari gangguan pamannya. Tetesan air hujan yang bocor dari pipa aliran kerap menciptakan bunyi tersendiri dan membawa Taufan tidur. Seperti di-nina bobo-kan.

Hanya dari pipa itulah Taufan mengerti derasnya hujan yang datang. Jendela mereka terlalu tinggi untuk anak seusianya dan Gempa. Balkon apartemen kecil itu juga ditutup dengan papan entah karena apa oleh pamannya. Gelap, sempit, lembab, bau rokok dan minuman keras.

Sekarang Taufan tidak mencium bau-bau itu. Sekarang, Taufan tahu bagaimana proses hujan terjadi. Tentang tetesan air yang mulanya menerpa pipi dan tangannya saat bermain di taman dengan Gempa. Tentang Halilintar yang memanggil mereka berdua agar meneduh di dalam. Tentang redamnya suara yang masih mengeras karena terpisah dengan kaca saja.

Taufan bisa melihat semua basah, terendam, dan memukau di depan matanya.

"Heh, masih melihat hujan?" Halilintar datang dengan Gempa di sampingnya. Mereka membawa gelas, dan piring berisi kue kering. Teman Halilintar sempat datang sebelumnya dan melihat mereka sebentar. Memberikan kue yang katanya dari toko kuenya kemudian pergi seperti badai.

Taufan bahkan tidak sempat mendengar nama orang itu.

Taufan mengangguk menanggapi pertanyaan Halilintar barusan. Dia menunjuk ke arah hujan di luar. "Apa rumput-rumput di sana tidak apa-apa? Mereka terendam air. Kasihan." Itu juga mengganggu Taufan. Kalau terendam air begitu, bagaimana mereka bernapas?

Halilintar melihat ke luar. Kemudian melihat ke arah Taufan. Dia mendudukkan diri di samping si bocah bersama dengan Gempa yang ikut duduk di samping kembarannya. Anak itu memberikan kue yang dia bawa piringnya.

Dengan jemari yang menempel di depan mulutnya, Halilintar berpikir sejenak. "Hmm... Rumput butuh air. Hujan memberikan air pada mereka. Sama seperti kita, manusia, harus minum agar tidak haus. Kapasitas minum si rumput berbeda dengan kita. Jika kebanyakan mereka akan mati. Cara yang bisa dilakukan adalah membuat saluran air agar air tidak terus menimpa rumput."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 27, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

everything will be okayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang