1.

7.5K 612 51
                                    

"Mama!" suara anak laki-laki melengking, membuat wanita dewasa yang sedang duduk disana menoleh. Itu Marvin dengan seragam baju khas pelaut berwarna hitam, diikuti oleh Jeoㅡ adiknya yang memegang topi pelautnya.

Dua anak laki-laki lucu, Marvin bersekolah di taman kanak-kanan nol besar dan Jeo berada di nol kecil. Harusnya suaminya itu memikirkan jarak usia anaknya, bukan mengikuti ego kelaminnya. Memang bajingan orang itu.

"Anak ganteng, mama. Ayo sarapan dulu." Thiya membantu Jeo untuk duduk di kursi yang sebelumnya di lapisi dua bantal, itu agar mempermudah si bungsu makan sedangkan Marvin hanya satu bantal ia sudah lumayan tinggi sedikit.

Jeo menyerahkan topi pelautnya kepada Thiya, berharap jika sang mama akan memasangkan topi tersebut diatas kepalanya. "Dedek udah sisiran?" tanya Thiya, melihat rambut anaknya agak sedikit berantakan.

Sepertinya sudah di sisir oleh perawat mereka sejak kecil, "Huum." gumam Jeo menjawab pertanyaan Thiya. Marvin sibuk dengan telur dan sosisnya, ia memakannya dengan pandangan berbinar senang.

Disela-sela mengunyah roti, Marvin bertanya pada Thiya. "Aku belum telat kan, ma?" katanya, matanya sibuk dengan sosis dan roti sama seperti Jeo yang sudah bisa makan sendiri.

"Belum. Nanti mama anter ya." jawab Thiya dengan senang.

Sudah menjadi kebiasaan baru nya untuk mengantar dan menjemput kedua anak lucu nya ini, betapa bahagianya menjadi Thiya. Setelah mengantar ke taman kanak-kanak, Thiya akan berbelok untuk membeli kopi dan tentu saja bekerja. Ia tidak akan pergi ke kantor, work from anywhere adalah solusi untuk wanita sepertinya. Fleksibel dan tidak terpatok waktu kerja, toh ia dapat menghasilkan uang.

Setengah jam hingga kedua putranya merasa kenyang, Thiya mengambil blazer yang ia letakkan diatas kursi disebelahnya. Menjepit rambutnya keatas dan menaruh bekas sarapan mereka di sink, ia akan mencucinya nanti. "Ayo berangkat." ujar Thiya seraya menggandeng Jeo dan Marvin di kedua tangannya.

Berjalan menuju garasi dan memilih mobil sedan putih, cocok dengan outfitnya. "Mama pakai mobil papa? Boleh kah?" tanya Jeo polos, anak itu dengan susah payah membuka pintu mobil.

"Boleh, sayang."

Nyaris dua puluh menit setelah Thiya meninggalkan rumah, Jefan terburu menuju garasi karena ia kesiangan dan istrinya tidak peduli. Benar, mobilnya tidak ada di tempat. Kurang cepat dari istrinya sendiri, "Thiyaaa!" teriaknya. Tentu saja Thiya tidak mendengar, masa bodoh dengan suaminya.

.

"Inget ya, jangan mau diajak pergi kalau bukan mama atau papa yang jemput. Okay boy?" tanya Thiya setelah kedua anaknya turun dari mobil dan menyalaminya, wanita itu sedikit membenarkan letak topi pelaut milik Marvin

"Owkie!" jawab keduanya kompak.

Marvin berjalan mendahului Jeo yang terlihat membuntuti nya, namun Jeo berbalik lagi dan berjalan ke arah Thiya. Ia bertanya kepada sang mama, memastikan sesuatu. Wanita itu menundukkan badannya sedikit agar setara dengan Jeo, "Kenapa, ganteng?" tanyanya.

"Mama nanti jemput dedek sama kakak?"

"Ya. Kenapa?"

"Kenapa bukan papa?"

'Papamu sibuk nyari lonte' Batin Thiya, namun ia tepis untuk mengatakan itu di depan Jeo. Wanita itu tersenyum manis. Tangan kiri bergelang emas putih itu bergerak mencubit pipi Jeo yang gembul, "Papa masih kerja, jadi mama yang jemput. Besok papa jemput dedek, okay?"

Jeo mengangguk senang, ia mengecup pipi Thiya. Tertawa dan akhirnya berlari mengejar sang kakak yang akan memasuki gerbang sekolah.

Oh, betapa lucunya.

Sekarang yang Thiya lakukan adalah pergi membeli kopi dan bekerja di café terdekat dengan sepotong cheesecake. Bekerja sebagai data analyst di perusahaan besar membuatnya tidak lagi bergantung pada suaminya sendiri, walaupun Jefan akan terus mengiriminya uang setiap bulan dalam nominal besar.

Ya, konsultan keuangan bukan pekerjaan sepele. Jefan bisa mencetak dua digit setiap bulannya bahkan bisa lebih, namun biasanya ia sisihkan sedikit demi 'hiburan' jadi Thiya membenci lelaki itu setengah jiwanya.

"Hidup udah sejahtera masih aja kerja." sindir teman Thiya yang baru saja datang dan duduk di hadapannya. Membuat Thiya langsung menutup tab miliknya, mengambil kopi dan meminumnya sedikit.

"Biasalah, Jefan kan nggak bener. Ancang-ancang aja kalau nanti jadi janda gue nggak kaget hahaha." jawab Thiya, temannya tertawa kecil.

Wanita itu bernama Weny, cantik hanya dengan kaos putih polos, celana rumahan, dan juga sandal jepit belasan juta. "Harusnya lo cerein dari dulu dia." katanya, sedikit menatap Thiya dengan senyuman kecil.

Benar, Jefan adalah lelaki brengsek. "Mungkin kalau gue nggak punya dua bocah, keluarga nya ngedesek gue buat cerai." Thiya mengambil vape dari dalam tas miliknya, menyesapnya pelan.

"Jelas lah, kenapa lo nggak lepas dari dia? Hidup lo udah enak sekarang."

Thiya menghela nafasnya, "Yah, Wen. Lo tau sendiri kan kalau gue nggak butuh Jefan, tapi Jefan yang butuh gue. Anak-anak gue juga masih kecil, masih harus kenal bapaknya yang brengsek."



























































































an.
hai, ketebak lah ini alurnya🙌🏻

daintyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang