4.

3.4K 507 33
                                    

Thiya menepuk-nepuk punggung Marvin perlahan lalu melepaskan jempol Jeo dari mulutnya, kedua putranya baru saja tertidur dengan bacaan dongeng yang tentu saja menjadi favorit mereka. Pelan-pelan Thiya bangun dari ranjang anaka-anaknya sebelum kepala Jefan menyembul dari balik pintu secara tiba-tiba.

Nyaris jantung Thiya copot, "Ayo sayang katanya mau berantem." ajak Jefan dengan penuh semangat, akhirnya wanita dengan piyama merah muda itu menghela nafas perlahan dan mengikuti Jefan ke kamar mereka.

Tadi sore Thiya menelpon suaminya agar cepat pulang dan menyelesaikan urusan mereka, Jefan tidak nampak seperti orang yang panik karena ketahuan selingkuh. Lelaki itu malah senang, quality time bersama Thiya akan jauh lebih seru.

"Apa nggak ada posisi lain?" tanya Thiya sesampainya diranjang mereka, Jefan langsung memeluk pinggang istrinya. Tidak ingin berpindah posisi, ini favoritnya. Ia menggeleng pelan, diikuti decakan kesal dari Thiya.

"Apa, neng. Katanya mau berantem?"

Dengan sabar Thiya mengambil ponselnya dan memberikannya kepada Jefan yang masih sibuk menciumi perutnya itu, "Tuh dia ngakunya simpenan kamu." adu Thiya. Tidak habis pikir darimana wanita lain mengetahui nomor ponsel Thiya dan juga sangat berani menelponnya.

"Nggak kenal." Jefan memberikan kembali ponsel tersebut pada Thiya.

"Bohong ya lo." kata Thiya, memainkan surai hitam suaminya yang lembut. Aromanya sama seperti sampo milik Jeo, mereka menggunakan merk yang sama.

Tangan Jefan meraih laci, membukanya dan mengambil semua ponsel milikinya lalu memberikannya pada Thiya. "Cek situ kalau nggak percaya." Dengan senang hati Thiya membuka semua kontak yang terdapat pada ponsel Jefan menghapus kontak mencurigakan yang ada disana.

Tenang, Jefan tidak akan marah ataupun mengamuk. Sibuk dengan ponsel suaminya, Thiya tidak sadar jika Jefan mengecek nomor seseorang yang mengaku jika ia adalah simpanannya. "Neng, ini mah penipu." kata Jefan setelah mengetahui sebuah kebenaran.

Lagipula Jefan tidak tertarik untuk menyimpan wanita lain, "Hah masa sih?" tanya Thiya penasaran. Ia menatap serius layar ponselnya, Jefan nampak menggulir layar dengan serius.

"Tuh kan, emang mau nipu dia."

"Tapi kok bawa-bawa nama mu ya?"

"Modus, biasalah."

"Pantes fotonya kok norak banget, ini kamu seleranya nurun apa gimana?"

"Nggak lah!"

"Foundationnya nggak rata." komentar Thiya, Jefan hanya tertawa kecil. Benar-benar di luar ekspektasi Thiya, nyaris wanita itu meminta uang bulanan lebih kepada Jefan untuk biaya kecantikannya.

Jefan menatap foto wanita di dalam ponsel itu, "Alisnya beda sebelah gitu, neng." lalu Thiya tertawa puas, benar-benar tidak sepadan dengan Thiya.

Thiya bergerak menaruh banyak ponsel dipangkuannya ke atas meja, "Mas, kamu inget nggak apa kata aku?" tanya Thiya pelan. Jefan mendongak untuk menatap wajah Thiya yang cantik dari bawah sana.

"Tentang apa?"

"Itu aturan."

Jefan nampak berpikir lalu kembali memeluk perut Thiya dengan erat seperti tidak ingin kehilangan wanita itu, "Neng nggak larang aku cari hiburan. Tapi, neng nggak toleransi kalau aku selingkuh atau punya pacar lagi hm..."

Wanita cantik itu tertawa puas, "Ayo terusin dong, ganteng." ujarnya seraya mengusap bagian belakang kepala Jefan disana.

"Nggak boleh tidur sama orang lain selain neng, nanti kalau aku sakit yang sakit bukan cuma aku tapi neng juga sakit. Aku nggak mau neng jadi sakit, jadi kalau aku mau harus pulang. Jangan jajan sembarangan." ujar Jefan persis seperti Jeo yang bercerita tentang kesehariannya bermain di taman kanak-kanak, lucu sekali. Ucapannya sama persis seperti yang Thea katakan seperti sejak awal pernikahan mereka.

Tangan Thiya beralih untuk menepuk-nepuk pipi Jefan yang berisi, "Pinternya suami ku, ah sayang banget. Sun sini sun." ujarnya bangga. Thiya merendahkan kepalanya agar mudah dikecup oleg suaminya.

Jefan tersenyum lebar, "Ayo, neng. Kita main di ruang tamu, let's go!" serunya langsung beranjak dari kasur dan meninggalkan kamar mereka. Thiya masih diam mematung disana,  oh pantas suaminya mau pulang cepat.

"Ya nggak di ruang tamu juga. Mas!"

.

Hari ini Thiya menunggu kedua anaknya, duduk di bawah pohon rindang bersama segelas kopi. Menghirup udara segar karena pikirannya harus disegarkan setelah tadi pagi Jefan bertanya apa ia harus membeli motor baru atau tidak.

Untuk Marvin dan Jeo, bahkan anaknya belum genap tujuh tahun saat ini. Rasanya ingin Thiya pukul, tapi tidak jadi karena Jefan masih menjadi anak orang. Larut dalam pikirannya hingga tidak sadar seseorang datang ke arahnya, "Sendirian aja?" tegurnya.

Thiya menoleh dan mengikuti arah suara, itu Tesa nampak rapih dengan celana bahan dan kemeja abu. "Tesa? Bolos ngantor ya?" tanya Thiya seraya berdiri dan memeluk temannya itu.

"Iya cuti. Hari pertama, Hena. Kan gue baru pindah kesini, capek juga tiap hari naik krl." ucap Tesa dan duduk disamping Thiya lalu menggulung rambut panjangnya.

Hening sejenak, akhirnya Tesa membuka pembicaraannya. "Gimana? Enak nggak jadi istri orang?" tanyanya diselingi tawa, masih segar diingatannya jika Thiya paling kencang menolak akan menikah.

Namun lihat lah sekarang, berbanding terbalik. "Kalau nggak dijodohin sama Jefan juga nggak mau sih, berhubung duitnya banyak gue mau aja." jawab Thiya enteng, alasan klasik karena jika tidak maka Thiya akan hidup susah. Wanita itu tidak munafik, membesarkan dan merawat anaknya butuh uang.

"Tapi kelakuannya masih sama kan?"

"Masih, ya begitu aja kelakuannya."

Tesa tertawa pelan, prinsip Thiya tidak berubah. Tapi ini lebih baik daripada Thiya yang dulu ia kenal, wanita itu tidak menyukai anak-anak omong-omong. "Kirain lo nikah bakalan bertahan sebulan doang." bisik Tesa yang duduk disampingnya.

Thiya hanya tertawa menanggapinya, bahkan ia pun tidak akan menyangka akan bertahan selama ini. "Nggak lah! Selain anak sama uang ada satu lagi alasan yang buat gua bertahan." seru Thiya yang tersenyum jahil.

"Apa?"

Bibir Thiya bergerak tanpa suara, membuat Tesa membulatkan matanya kaget. Menggenggam tangan Thiya dan menggelengkan kepalanya pelan, "Emang kotor pikiran lo." katanya dibarengi tawa dari keduanya.

























































































an.
anak²nya kapan gede ya

daintyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang