12.

1.4K 246 2
                                    

Jam menunjukkan pukul dua pagi dini hari, Thiya bersandar di lengan suaminya dengan tangan yang masih menggulir layar ponsel. Wanita itu sedang memilih tas baru yang akan ia beli, "Mas, mending beli online atau ke toko nya ya? Lucu nih."

Jefan menyesap nikotin dari rokoknya, aroma maskulin berbaur asap rokok memenuhi kamar ini. Tangan kanannya tidak berhenti mengusap rambut Thiya dari samping, "Ke toko boleh, kita udah lama nggak keluar bareng." jawab Jefan.

Thiya jadi berpikir, akhir-akhir ini mereka jarang melakukan quality time. Biasanya mereka akan pergi di akhir pekan, kemana saja yang penting mereka sekeluarga pergi bersama.

"Iya nantiㅡ

Tok tok tok

"Mama." suara Marvin mengintrupsi, sepasang suami istri itu langsung betatap-tatapan. Beberapa detik kemudian mereka tersadar, Thiya merapihkan kancing piyama nya lalu beranjak dari kasur setelah memukul lengan suaminya.

"Matiin rokoknya!" ujarnya pelan dengan nada sinis, Jefan berdecak dan mematikan rokoknya lalu membuka ponsel milik Thiya yang ditinggalkan. Sedangkan istrinya itu tengah membuka pintu kamar mereka.

Thiya berjongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan Marvin, "Iya, kakak. Kenapa sayang?" tanyanya pada si sulung yang wajahnya terlihat panik.

"Jeo, ma. Jeo mimpi, aku udah bangunin tapi Jeo engga bangun terus tangan Jeo hangat." tuturnya dengan suara yang panik dan menahan tangis. Thiya membulatkan matanya dan menggandeng Marvin yang masih kaget disana.

Thiya berbalik dan membuka pintu kamar, "Siapin mobil, mas." ucapnya. Tidak peduli dengan Jefan yang kaget, untuk apa menyiapkan mobil dini hari? Kecuali ada sesuatu yang darurat.

Tunggu, "Neng, kenapaㅡ" baru saja Jefan ingin memberikan pertanyaan tapi Thiya sudah pergi ke kamar kedua anaknya dengan menggandeng Marvin, membuatnya terheran sendiri karena Thiya tidak meninggalkan sebuah alasan.

.

Sekarang Marvin duduk di pangkuan Thiya seperti koala, wanita itu sesekali memeluknya. Mereka duduk di koridor rumah sakit. Jeo demam tinggi dan mengigau, Thiya tidak bisa jika hanya merawatnya seperti biasa jadi ia membawa Jeo kerumah sakit.

Jefan masih di dalam ruangan berbincang dengan dokter mengenai tes darah yang akan segera dilakukan oleh Jeo, ada beberapa kemungkinan Jeo bisa demam tinggi.

"Neng, Jeo harus di tes darahnya." ucap Jefan setelah menutup pintu ruangan dan bergerak untuk duduk disamping Thiya.

Wanita itu bersandar di bahu suaminya, entahlah rasanya lemas sekali. Kasihan Jeo didalam sana, ini adalah kali kedua mereka menghadapi kedua anaknya yang masuk rumah sakit. Marvin menjadi yang pertama ketika ia diare parah saat bayi, Thiya nyaris seharian menangis. Lalu sekarang Jeo, Thiya takut sekali jika si bungsu nya mengidap penyakit serius. Kepalanya hanya berisi kemungkinan-kemungkinan yang tidak baik.

Sadar jika Thiya butuh dukungan, Jefan merangkulnya. Mengusap bahu sempit Thiya yang hanya menatap kosong dinding di hadapannya serta sesekali mengelus punggung Marvin yang nampaknya akan tertidur, "Doain Jeo nggak kenapa-napa ya? Mau aku anter pulang?" tanya Jefan pelan.

"Kamu aja pulang sama Marvin, aku disini." jawab Thiya. Helaan nafas Jefan terdengar berat, kenapa istrinya itu sangat keras kepala?

"Pulang, neng. Nggak baik Marvin di rumah sakit lama-lama, besok aku nggak kerja dan disini jaga Jeo. Kamu tenang aja, okay? Ayo sekarang aku anter kamu pulang." jelas Jefan, ia tidak ingin Thiya ataupun Marvin jatuh sakit. Mengingat ini sudah malam, bahkan Thiya saja memakai jaket milik Jefan karena terburu tadi.

Thiya masih bergeming, egoisme nya mulai naik. "Aku disini, kamu aja pulang sama Marvin. Besok Marvin sekolah." ucap Thiya masih dengan pendiriannya, ia menatap Jefan dengan pandangan yang sulit diartikan. Jeo masih butuh perawatannya disini.

daintyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang