15.

2.8K 321 8
                                    

"Mereka bertiga kembali ke tempat itu. Batu-batu besar itu masih ada." terdengar suara Marvin yang sedang membaca buku dongengnya dengan perlahan sembari menunggu Thiya memasak sarapan untuk mereka, anak itu sudah rapih dengan seragam pelaut dan juga topi biru nya sama dengan sang adik. Bedanya, Jeo sedang mensejajarkan koleksi hotwheels milik papanya diatas karpet.

Drrtt drrt

Ponsel Thiya bergetar diatas meja, mengambil atensi Jeo disana. Anak manis itu langsung membawa ponsel tersebut, berlari ke arah Thiya yang berada di dapur. "Mama! Mama! Ada telpon!" teriaknya panik.

Bruk

Ia tersandung kakinya sendiri hingga terjatuh tepat dekat pagar kecil pembatas antara dapur dan ruang tengah, "Pelan-pelan, dek. Jangan lari-lari."ujar Thiya membantu Jeo bangun dan membenarkan letak topinya yang miring. Anak lelaki itu tidak menangis ia tersenyum lebar hingga gigi kecilnya terlihat semua.

Setelah mengucapkan terimakasih, Thiya mengangkat telponnya. "Ya, halo tante?" katanya dengan nada manis, harus tetap terdengar baik walaupun rasanya ingin memaki karena mengganggu aktifitas memasaknya.

"Halo, Thiya? Sorry banget ganggu nih, kamu bisa bantu tante nggak ya? Ini si kakak rencananya kan mau kuliah bulan depan." katanya disebrang sana, Thiya hanya tersenyum kecil dan tetap fokus mengaduk nasi gorengnya.

"Lho iya? Kuliah dimana, tan?"

"Nggak jauh lah, di Surabaya. Jadi uang kuliah sama biaya hidup disana masih kurang, kamu bisa bantu tante nggak? Nggak banyak kok delapan belas juta cukup buat satu semester." Thiya mengubah letak ponselnya menjadi di telinga kiri dan mengapitnya sebelum membagi nasi goreng tersebut ke atas empat piring.

Ia sudah menduga jika tante Jeffan ini pasti akan meminjam uang, "Duh, aku kalau segitu banyaknya nggak ada tan." jawab Thiya sebelum meletakkan kembali wajannya ke atas kompor, sekarang ia akan menggoreng beberapa potong sosis untuk isian bekal kedua anaknya nanti.

"Tapi sekalian ini tante mau nawarin tanah juga di Sukabumi, setengah-setengah sama tante Jica. Paling kena dua satu, gimana?"

Tanpa pikir panjang, Thiya langsung membulatkan matanya. "Aku ambil." katanya, barang investasi nya bertambah lagi.

"Katanya kamu nggak ada uang banyak." Thiya kelabakan, sialan. Mata bulatnya terlihat cukup panik, alasan apa yang akan ia sampaikan pada wanita dipanggilan telponnya?

"Itu anu nanti aku bilang mas Jeffan, iya bener soalnya kemaren lagi nyari tanah juga." demi Tuhan, maafkan Thiya yang suka mengkambing hitamkan suaminya yang bahkan tidak tahu menahu mengenai urusannya.

.

Setelah selesai dari acara memasaknya, Thiya melepaskan apron dan berlari ke kamarnya. Kedua anaknya sedang menikmati sepiring nasi goreng hangat juga segelas susu, yakin jika mereka berdua tidak akan ribut atau saling meneriaki satu sama lain. "Duh, mana lagi ya?" ucap Thiya pelan sembari masih mencari dimana saja ia meletakkan perhiasannya.

Terdengar suara Jeffan sedang mandi, aman pikir Thiya. Ia akan mengusahakan semuanya agar mendapatkan tanah itu, barusan ia dikirimi foto oleh wanita tadi. Posisinya sangat strategis dengan harga yang lumayan miring, siang ini ia akan mengurusnya. "Ngapain, Neng?" tegur Jeffan di ambang pintu, punggung Thiya menegang begitu mendengarnya.

Tidak Jeffan tidak boleh tahu hal ini, ia akan memberitahunya jika sudah keluar surat kepemilikan. "Nggak kok, cuma ambil jam tangan." alibi Thiya lalu berjalan keluar kamar, beberapa detik kemudian ia kembali muncul.

"Aku ada urusan sampe sore, anak-anak kamu jemput kasih makan siang jangan lupa tidur juga. Aku nggak peduli sama rapat mu, kalau tante Mira nelpon nanya ini itu kamu iya aja. Okay, sayang?" perkataan Thiya terlalu cepat sedangkan otak Jeffan tidak bisa mencerna perkataan istrinya secepat itu.

Jeffan hanya menatap istrinya, "Hah?" katanya.

Dengan helaan nafas lelah Thiya mengulang perkataannya lagi, "Aku ada urusan ngedadak sampe sore, okay? Nanti Marvin Jeo kamu jemput, jangan lupa dikasih makan, dan mereka harus tidur siang ━

Suami Thiya hanya membulatkan matanya, "Rapat, nggak bisa."

"Bawa anakmu ke kantor." ucap Thiya final, Jeffan hanya bisa menelan air liurnya. Bayangannya jika Jeo akan berlarian kesana kemari lalu menabrak meja karyawan kini menghantuinya, ia baru mencemaskan hal ini. Enam tahun yang lalu tidak terbesit sedikitpun dikepalanya.

Setelah anggukan yang ditunjukan oleh Jeffan kini Thiya tersenyum lebar dan mengancungkan jempolnya seraya membalikkan tubuhnya untuk keluar dari kamar, "Bentar, neng! Itu tante Mira emang kenapa?" Thiya menepuk dahinya karena lupa memberi tahu hal ini pada Jeffan.

"Biasalah obral barang, kalau nanti nanya kamu lagi butuh tanah atau engga bilang iya aja."

"Nggak, aku nggak pengen beli tanah."

"Iya aja, mas."

"Kalau disuruh beli gimana?"

"Ya bilang aja udah nemu, gitu kok repot." Jeffan diam, mencoba berpikir. Kalau begitu apa gunanya ia mengiyakan hal tersebut? Oh, mungkin agar wanita tua itu tidak menghubungi dirinya lagi. Benar, itu masuk akal.

Menatap Jeffan yang masih berpikir Thiya pikir suaminya akan paham, walaupun otak Jeffan tercemar alkohol tadi malam. "Okay, ganti baju kamu terus makan. Anak ━

Perkataan Thiya terhenti ketika Marvin berteriak dari lantai bawah, "MAMA! UDAH DUA KALI JEO MAKAN SOSIS AKU LAGI!" katanya. Padahal Thiya sudah membaginya sama rata, ada apa dengan si bungsu ini?

"On my way, kids! Inget ya mas kata-kata ku, awas sampe lupa." ucapnya sinis sebelum menutup pintu kamar, meninggalkan Jeffan yang pening sendiri karena tidak bisa mencerna perkataan Thiya dengan benar. Ia hanya ingat poin pertama saja, jemput kedua anaknya.














































an.

thiya : money money money, must be funny

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 10, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

daintyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang