"Flowers look good on you."
Phian menoleh ke kanan dan kirinya, ia rasa tak ada orang lain di taman itu yang meletakkan bunga di kepala kecuali dirinya. Benar, tak ada siapapun disana, kecuali seorang pria berambut hitam ikal dengan kacamata bertengger di antara mata dan hidungnya.
Pria itu menatapnya dengan rasa tak bersalah, ia baru saja mengungkapkan kejujuran. "Flowers look good on you."
"Sorry?" Phian menyernyit bingung, ia menutup buku yang sejak tadi ia baca dan menatap pria bersweater putih itu dengan heran.
Pria itu menghela malas. "Flowers look good on you." Ia yakin itu adalah kali ketiga ia mengatakannya.
Ia memang cantik, Phian tak langsung merasa senang dengan pujian itu. "I know." Phian menggedik dan kembali membuka bukunya. Ia lanjut kembali membaca buku yang baru saja ia pinjam dari temannya itu.
Merasa diabaikan, pria itu duduk di samping Phian dan membuka buku yang sama lalu ikut membaca. "Kau sudah di halaman berapa?"
Phian mendecih. Pria itu cukup mengganggu. "Lima puluh empat."
Pria itu mengeratkan kacamatanya dan membalikkan halaman bukunya mundur, membuka halaman limah puluh empat. Membacanya sekitar lima menit sebelum akhirnya ia kembali menggeser pandangannya pada Phian. "Itu puncak konfliknya, bukan?"
"Hm." Phian berusaha untuk tetap fokus.
"Bagian tersulit dari ditinggal mati adalah ketika kau harus tetap hidup." Pria itu melanjutkan.
"Hm."
"Di paragraf ke tiga, sang pemeran utama, dia me_"
"Maaf." Phian menutup bukunya keras. Kesabarannya habis. "I'm not talking to strangers. Kau benar-benar tidak menyadari betapa tidak nyamannya aku?"
Pria itu ternganga, ia lalu tersenyum dan mengangguk. "Aku Lazos."
"Baik, Lazos. Apa maksudnya ini?"
"Aku hanya merasa kau perlu tau bahwa bunga-bunga itu tampak bagus di atasmu." Lazos bergumam merujuk pada bunga yang Phian rangkai di kepalanya.
"Lalu?"
"Kau tak mau membalas pujianku?"
Itu adalah awal dari pertemuan Lazos dan Phian, di sebuah taman di bukit di pinggir kota Berlin yang hiruk pikuk. Sebelum akhirnya puluhan pertemuan lain tercipta, membaca buku yang sama secara kompak, merangkai bunga lain menjadi mahkota, terus menerus seperti itu.
Phian adalah seorang dosen di salah satu universitas kecil di tengah kota, ia sering menghabiskan sorenya di taman Eyetown dengan membaca beberapa buku sastra yang sesuai dengan materi ajarnya, sekaligus membunuh penat. Lazos adalah seorang penulis, katanya. Phian tak pernah mengetahui pekerjaan pria itu lebih lanjut.
"Jadi, kau memang akan selalu datang untuk menemuiku di sore hari?"
"Benarkah?" Lazos tampak berpikir. "Aku datang bukan untuk menemuimu, aku hanya ingin melihat hasil kerjaku."
"Oh ya?" Phian mengangguk-angguk. "Projek taman?"
Lazos menggeleng. "Nope."
"Jadi apa?" Phian meletakkan bukunya di spasi kursi di antara mereka, ia ingin tau lebih serius soal Lazos kali ini.
Wajah Lazos mendekat, membunuh jarak di antara mereka dengan wajah datar. Pria itu menatap kedua bola mata Phian lekat. "Aku adalah apa yang kau baca. Dan kau adalah apa yang kutulis."
Suasana hening untuk waktu yang lama. Masing-masing saling mengunci tatapan satu sama lain, berkomunikasi tanpa suara. Jika benar Phian adalah apa yang Lazos tulis, maka sungguh tak akan ada satupun kalimat di buku yang Phian baca terlihat buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekali Baca
Short StoryIni hanya berisi cerpen yang penulis rasa terlalu merepotkan untuk diselesaikan. Di dalamnya terdapat ide prolog, cerpen, atau bahkan hanya beberapa kalimat yang menggambarkan seluruh kisah. Ingat, ini hanya tempat penulis membuat coretan di malam h...