Arunan

10 0 0
                                    

Pria paruh baya berkacamata itu menggenggam erat tangan anak perempuan yang kini memandang sebuah lukisan pria tampan di dinding salah satu galeri yang mereka tengah kunjungi. Pelipisnya mengernyit mengamati setiap inci lukisan-lukisan yang tertempel di dinding, penuh debu dan mulai menguning. Anak perempuannya bersekolah di sebuah universitas ternama dan mengambil jurusan seni dan akan menamatkan pendidikannya dua tahun lagi. Sang ayah baru saja memberinya hadiah, sebuah galeri. Tatapan anak perempuan itu berbinar mengamati sebuah mahakarya yang berhasil mencuri perhatiannya secara mutlak.

Siapa sosok pria tampan di lukisan itu...

Katanya jangan getarkan hati seorang seniman, nanti kau abadi. Abadi entah di dalam tulisannya, lagunya, atau mungkin lukisannya. Jika saja seniman jatuh hati pada dirinya sendiri. Jika saja seniman tak takut abadi. Sayangnya seniman jarang jatuh cinta pada dirinya sendiri, tangan seniman seakan lebih mahir menyulap orang lain menjadi abadi dalam karya, mereka justru tenggelam lalu hilang ke tepi bingkai seni, sekedar nama. Seniman lebih suka karyanya dipuji dan ditawar tak terbeli daripada lenyap terlelang, bukan soal uang, tetapi apa yang terjadi ketika kanvas masih putih kosong.

Arun adalah seorang seniman, usianya dua puluh tujuh tahun ketika dirinya jatuh hati pada seorang pria yang mengunjungi galerinya. Arun yang berpakaian serba hitam terpana melihat sosok tinggi berambut gondrong dengan setelan serba putih celana pendek. Pria itu mengambil banyak gambar untuk diabadikan dalam ponselnya. Alis tebalnya bertaut memeriksa kembali hasil jepretannya, matanya tajam memotong setiap bagian pada bingkai seni yang terpajang disana. Ia pengamat, sesekali ia menghisap puntung rokoknya dalam, meresapi rasanya hingga mata terpejam, sebelum ia kemudian kembali menatap lukisan di hadapannya dengan seksama.

Arun lupa kapan terakhir kali ia jatuh hati, ia namun bisa pastikan sore itu dirinya telah terpesona. Setidaknya Arun mampu menahan diri, ia benar-benar berinteraksi dengan pria yang mencuri perhatiannya itu di pertemuan kedua. Pria itu datang lagi, masih dengan setelan baju serba putih, kemeja putih dan celana putih gading yang pendek, pria itu terpana pada sebuah lukisan dewi air yang telah berlumuran darah di dinding galeri itu. Masih dengan mata terpaku pada lukisan di hadapannya, pria itu mengeluarkan kotak rokoknya, merogoh saku celana kirinya mencari korek.

"Ini pasti bukan kali pertama kamu mampir..." gumam Arun di balik tubuh pria itu. "Bukankah galeri adalah tempat sekali kunjung?"

Pria itu awalnya tak sadar seseorang berbicara padanya sampai ia mendapati sosok wanita berambut pendek dengan tampilan gelap mendekat ke lengannya. "Saya?"

"Nama kamu?" Tanya Arun, tepat ketika dua iris mata pria itu bertemu dengan miliknya. Oh, coklat terang semanis madu, seakan tuhan sengaja menitikkan dua tetes madu di netra pria itu. Arun meneguk liurnya lalu tersenyum tanggung, seketika ia sadar bahwa tak ada karya yang lebih indah daripada karya Sang Maha Kuasa.

Dengan sopan, pria berkemeja putih rapi itu tersenyum bingung. "Ruka, perkenalkan Mbak..."

"Arun..." Arun membalas senyum pria itu. "Ini galeriku, Arunan."

Ruka tertegun, ternyata sosok di depannya ini adalah sosok di balik semua mahakarya yang luar biasa itu. Mengejutkan sekali wajah sejahat Arun bisa menghasilkan seni paling menenangkan yang Ruka pernah lihat. Baju serba hitam di tubuh Arun sangat jauh dari gambaran warna-warni lukisannya. "Seni Mbak bagus s_"

"Muka aku tua ya?" Sela Arun. "Aku dua puluh tujuh tahun."

"Saya masih dua puluh lima, Mbak..." Ruka merunduk segan.

"Panggil Arun, jangan mbak." Arun bernego.

"Siap Mb_" Ruka menutup mulutnya lalu membukanya lagi. "Siap Run."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sekali BacaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang