1

2.1K 23 24
                                    

"Maafkan Papa, Sayang," lirih seorang lelaki mengenakan setelan jas hitam yang telah diborgol kedua tangannya di belakang punggung. Memandang sendu putri semata wayang yang telah dibanjiri airmata dalam diam.

Tangan gadis yang berdiri itu terkepal kuat, menyalurkan kesedihan sekaligus kekecewaan dan rasa malu luar biasa atas apa yang terpampang di hadapannya. Lelaki paruh baya yang selama hidup selalu terlihat hebat meski dalam keadaan terpuruk sekalipun. Namun sekarang, pria usia empat puluh lima tahun tersebut bertekuk lutut di bawah anaknya dalam kondisi yang sedemikian rupa menyedihkan.

"Alana ...." Sang ayah memanggil.

Enggan menimpali, gadis berkebaya itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, menatap teman-teman wisuda SMP-nya dan guru-guru yang ikut andil dalam acara perpisahan tersebut memandangnya prihatin. Seharusnya, di hari yang membahagiakan hanya ada senyum dan tawa yang mengembang, tapi justru kejadian naas yang menimpa ayahnya membuat dirinya sempurna nelangsa.

"Alana ...." Kembali suara bergetar lelaki itu terdengar menyayat hati. Karena tidak mendapat secuil pun jawaban, ia melanjutkan ucapan. "Maaf Papa, ya, Nak. Untuk semue kekacauan yang dilakukan Papa. Selepas ni Papa akan diproses di balai polis. Kau tak payah risau. Nanti Papa akan meminta tolong Makcik Kila untuk menjaga awak sekejap," sesalnya, tapi masih berusaha keras meyakinankan anaknya.

Tubuh anak yang dipanggil Alana ambruk seketika, dengan sigap satu bapak guru terdekat membopopongnya, dan segera dilarikan ke UKS.

Sementara lelaki tak berdaya yang tiba-tiba datang bersama para pihak berwajib menunduk, menangis sejadi-jadinya. Batinnya memvonis diri sebagai ayah yang telah gagal menjadi penopang segala macam suka-duka untuk anak tercinta.

--

Samar-samar suara seseorang mengobrol terdengar, Alana yang baru membuka mata membelalak kaget. Seingatnya, sebelum pingsan ada di sekolah, tapi mengapa kini dalam sebuah mobil yang jelas ia tahu bahwa jalanan raya itu bukan lagi milik negara tempat tinggalnya berasal.

"Alana ... bangun?" Kila yang tadi sibuk membicarakan sesuatu dengan suaminya, langsung bertanya sesaat setelah menyadari Alana memandang heran ke luar jendela.

Wanita rambut sebahu mengusap pundak Alana. "Kite dalam perjalanan ke rumah Tante Lubna. Ingat, kan?" beritahunya seakan mengerti kebingungan yang tengah dilanda putri sahabat karibnya.

"Jadi, ni Indonesia?" Alana membeo tak percaya. Berapa lama ia tertidur sampai sama sekali tidak terganggu meskipun tubuhnya telah terpental kemana-mana.

Kila mengangguk. "Papa awak meminta Makcik untuk membawamu ke sana. In sha Allah, Alana akan tinggal di sana sebentar. Sementare menunggu berita baik dari kasus Papa awak," jelasnya.

Hening sekejap. Alana memaksa memori otaknya bergerak cepat. Lalu ingatannya terhenti pada satu nama. Berselang menit sontak saja mulutnya menganga lebar.

"Masalah besar," batin Alana gelisah.

--

Kendaraan roda empat memasuki gerbang yang telah dibuka oleh satpam. Dua wanita dan satu lelaki turun dari mobil, mata gadis belia itu bergerak-gerak resah setelah menjejakkan kaki di perumahan mewah.

Dari ambang pintu tergopoh-gopoh sepasang paruh baya menyambut kehadiran mereka, mimik muka jelas tergurat kekhawatirannya. Gegas Alana bersembunyi di balik tubuh gempal sang bibi.

"Apakah yang kami dengar, sungguh benar?" Penuh kehati-hatian Andra bertanya, sesekali mencuri pandang pada gadis yang masih berpakaian kebaya panjang, serta rambut yang disanggul walau agak berantakan.

Hanya anggukan yang menjawab. Kontan saja dua pasutri itu melemas. Setelah menyaksikan berita dari group whatsapp khusus pengusaha batu bara yang sedang gempar. Andra selaku adik tiri Andrew orangtuanya Alana, spontan panik bukan main. Bahkan ia telah memesan tiket pesawat untuk penerbangan nanti malam sangking kalutnya.

ALANA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang