11

13 2 0
                                    

Tubuh Levine menggeliat risih. Perlahan didorongnya tubuh Seyla menjauh, lalu padangan cowok itu menelusuri sekitar, hingga terhenti pada Alana yang kini bersedekap dada, memajukan dagu dengan gaya songongnya. Levine berdecih sinis, bisa-bisanya tunangannya tersebut menatap sedemikan rupa sangarnya.

Levine menghela napas gusar. Ia datang buru-buru demi menjemput Alana, tapi ini balasannya? Harusnya supir pribadi keluarga yang menjemput, tetapi mendadak mobil itu mogok di Jalan Mawar dekat dengan ruko Kay.

"Levine!" rajuk Seyla menahan malu karena merasa ditolak mentah-mentah, parahnya di muka umum.

"Sey ...." Levine memanggil lirih, tapi berkesan menahan geram. Cewek satu itu tidak pernah menyerah untuk mendapatkan hatinya. Jangankan perasaan, kadang perhatian saja Levine malas memberikan.

"Iya ... iya. Maaf," sesal Seyla. Ia tak mau bila Levine sampai marah dan berujung mendiamkannya berhari-hari, sungguh gadis itu tidak suka diacuhkan terang-terangan.

"Hey, Bro!" Leo heboh langsung merangkul bahu sahabatnya. "Ngapain di sini? Mau modusin adik kelas, ya?" tudingnya menaik turunkan alis menggoda.

"Kaya nggak laku aja nyari cewek segala, yang ada gue dikejar bukan mengejar," ucap Levine bangga.

Ditoyor Leo kepala Levine. "Sombong amat!" cibirnya. "Terus lo ngapain ke sini? Kan masuk serempaknya hari senin depan. Kecuali lo anak OSIS, beda lagi cerita."

Levine malas berlasan yang merujuk pada sebuah kebohongan. Diraihnya tangan Seyla yang menggangtung di sisi pahanya. "Ada sesuatu yang mau gue omongin sama dia," alibinya.

Mata cewek itu berbinar senang, tak percaya atas apa yang dilakukan Levine padanya. Berbading balik dengan beberapa menit yang lalu. "Mau ngomong apa sama gue? Masa depan?" Seyla bertanya antusias.

Seulas senyum paksa membingkai bibir Levine. Mengapa harus serepot ini? Demi menutupi gengsinya pada Alana. Levine harus mengorbankan perasaan orang lain. Sungguh situasi yang menyebalkan.

"Alana!" Seseorang memanggil dari kejauhan. Sontak Alana memutar badan mencari sumber suara, saat menyetahui siapa yang menghampiri senyumnya merekah indah.

"Kampret bener si Farren. Belum genap sehari udah dapetin murid yang paling cantik. Bener-bener dah, harusnya kan gue," celetuk Leo geleng-geleng kepala tak terima.

Levine yang mendengar itu, merasa hawa panas mengerubungi seisi rongga dadanya.

"Mereka deket?" tanya Levine teramat penasaran.

"Iya! Cepet banget, kan?" Leo tak habis pikir.

"Nggak peduli." Levine menatap tajam Alana yang sesekali melirik ke arahnya. "Laper kaga?" Cowok itu mengalihkan topik pembicaraan.

"Ditelaktir nih? Demi apa? Oh, atau ini pajak jadian dari kalian?" Leo makin heboh sendiri menatap kedua temannya bergantian, membuat pipi Seyla bersemu merah merona. Beda dengan Levine yang menahan kesal, memilih untuk masuk ke mobil menanggalkan niatannya datang ke sekolahan.

Alana yang tadinya berlagak sok bahagia depan Levine sebab ingin menunjukkan bahwa bukan saja cowok itu yang banyak ditaksir orang lain. Lihat saja dirinya baru beberapa jam di sekolah sudah banyak menggaet perhatian laki-laki.

Hah! Alana meniup poninya.

"Gimana?" Farren menagih jawaban.

Alana menoleh, gelagapan. Astaga! Ternyata cewek itu tidak menyimak yang dicurahkan Farren, fokusnya hanya menguping obrolan Levine yang hanya sayup-sayup terdengar tak jelas.

Bunga yang mengerti situasi, kebetulan dari tadi setia menjadi obat nyamuk merespon. "Alana, tinggal nunggu jemputan bentar lagi," katanya cepat, menutupi kegugupan.

Farren mengangguk paham sembari tersenyum canggung. Ia bukan anak kecil yang mudah dikelabuhi, tapi tidak mungkin pula dirinya marah, apa haknya bila Levine lebih disukai kehadirannya oleh cewek-cewek seantreo sekolah. Memang bukan karena prestasi, tapi entah mengapa aura rupawan Levine lebih memesona daripada dirinya.

"Lan." Diulurkannya tangan.

Alana mengernyit bingung.

"Kenalan dari awal. Nama gue Farren Andriansyah," ujarnya mengenalkan diri.

Sesungging senyum tercetak di bibir Alana. Cewek itu segera menyaliminya. "Alana comel," candanya tertawa renyah.

"Dasar pede akut!" celetuk Sajana menyindir, sontak semuanya terbahak.

Iri bilang, Bos!

--

Ditarik Alana kursi samping ranjang tempat pembaringan Andra. Lelaki paruh baya itu terlelap dengan bagitu damai. Benak gadis tersebut masih sangat kebingungan, pasalnya tiba-tiba saja ada taksi online yang menjemput mengatas namakan Lubna sebagai pemesan. Namun yang aneh calon mertuanya tersebut tidak sama sekali mengabari apapun, bahkan nomer hapenya tidak aktif. Bisa jadi tadi bukan Lubna, kan? Akan tetapi siapa?

Alana menggeleng. Menghalau pikiran-pikiran negatif yang menggelayut di kepalanya. Sudah cukup cobaan silih nerganti yang melanda. Untuk hal sepele seperti itu ngapain dipikirkan, coba? Tidak ada gunanya. Toh, saat ini ia tidak dalam bahaya.

Dering ponsel Alana berbunyi, gegas cewek itu merogoh saku seragam putihnya. Tertera deretan angka baru di layar.

Siapa lagi, ini? Alana benci tanda tanya dalam hidupnya.

Sampai panggilan itu berhenti Alana sama sekali tidak menanggapi. Ia lelah, sungguh letih. Nomer tersebut jelas milik orang Indonesia yang mirip punyanya waktu diberikan Lubna. Namun orang yang menelpon tadi dapat nomer barunya dari mana? Kalau bukan family Andra, siapa lagi? Teman-teman se-geng-nya? Mana mungkin, lagipula Alana sudah menamai per orangnya, bahkan ke-empatnya telah membentuk group whatsapp. Mustahil menghilang tanpa dihapus, kan?

"Nomer gue!" seru seseorang dari celah pintu yang setengah terbuka.

Alana terperanjak sangking terkejutnya. Apakah ia sebegitu lama melamun sampai-sampai decitan pintu tak terdengar.

"Save!" suruh cowok itu memaksa. Kakinya mengayun menghampiri Alana. "Denger, nggak?" sambungnya geram karena selalu dicuekkan.

Alana memutar bola mata malas. Masih enggan merespons. Seperti biasa.

"Jangan terlalu bangga. Mentang-mentang gampang menarik perhatian cowok-cowok. Dengerin ini, barang murah memang lebih dilirik dan laku keras!" bisik Levine tepat di telinga tunangannya.

Terkepepal kuat tangan Alana. "What do you mean?"

"Pinter, kan? Nggak perlu dijelasin, gue yakin lo cepat tanggap."

"Jangan terlalu bangga?" Alana mengulang ucapan Levine, yang langsung diangguki tunangannya. "Why? Because I beautiful?"

"Hmm."

"Suke-suke hatilah. Laki-laki nak perempuan cantik ke, comel ke, imut ke. Berarti mereke normal. Tak macam---" Sengaja dihentikkannya omongan. Sadar bahwa ruangan serba putih itu bukan hanya dihadiri mereka saja.

"Apa?" Levine justru menantang.

"Cuba fikirkan. Macemane rasanye kawin dengan gadis yang tak sedap dipandang? Ape yang menggembirakan? Setiap pagi awak bangun, dan tengok isteri kau buruk dan keruh setiap hari. Adakah tu beri awak mood yang baik? Tak, kan! Semua lelaki di luar sane mesti cari gadis cantik, yang membuat mereke selalu ketagih rindu jika mereka tidak kunjung bertemu." Panjang lebar Alana meluapkan kekesalannya. Bagaimana bisa Levine menyalahkan wajahnya yang cantik itu, dan parahnya menyamakan Alana dengan barang KW. Sungguh keterlaluan.

"Answer saye lah!" imbuh Alana menatap tajam Levine yang masih berusaha mencerna omelan Alana barusan.

NEXT?

ALANA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang