Bunyi lonceng yang berdenting terdengar cukup nyaring ketika Harsa menarik gagang pintu kaca di toko buku. Ia berjalan keluar dari gedung besar bercat putih-cokelat tersebut. Tangan kanannya menenteng sebuah bag kecil berisi buku yang tadi dibelinya.
Sesekali Harsa melirik jam di tangan kirinya. Ada sedikit keresahan melihat jarum jam menunjuk pada angka 16.35. Hari sudah sore, ia memikirkan Bi Inah yang pasti tengah mencemaskannya di rumah. Harsa dengan tergesa-gesa berjalan menuju motornya yang terparkir tak jauh dari gedung toko buku. Namun, belum tiba dirinya di sana, tepat di depan kedai kopi bunyi tubrukan yang berdentum mengalihkan perhatian orang-orang yang berlalu-lalang.
Bruk!
Harsa jatuh terduduk di tanah bersamaan dengan buku-buku dan seseorang yang tak sengaja bertabrakan dengannya. Ringisan kecil keluar dari bibir Harsa saat merasakan perih di telapak tangan kanannya.
“Ma-maaf! Saya gak sengaja!”
Harsa mengusap tangannya yang tergores dan mengeluarkan sedikit darah, lantas meluruskan pandangan mendengar suara tersebut. Seseorang yang bertabrakan dengan dirinya ternyata adalah perempuan. Gadis yang memakai gaun di bawah lutut berwarna putih tulang itu tampak menunduk, tangannya bergerak cepat memunguti barang-barangnya yang berserakan di tanah. Rambutnya berwarna hitam legam, panjang dan terurai hingga sebatas punggung.
Harsa diam tak berkutik. Memperhatikan gadis itu yang masih memunguti barang-barangnya. Beberapa detik berlalu, gadis itu lantas mengangkat kepalanya. Iris mata Harsa langsung bertubrukan dengan sepasang mata sendu milik gadis tersebut. Harsa terkesiap sejenak.
“S-saya minta maaf. Tadi buru-buru jadi nggak fokus ke jalanan.” Ucap gadis itu dengan perasaan bersalah dan gugup yang bercampur aduk.
Harsa masih diam memperhatikan makhluk ciptaan Tuhan di hadapannya ini. Bulu-bulu lentik itu terpasang apik di atas sepasang mata sendunya. Alisnya terukir indah dan sedikit tebal. Hidungnya mungil dan mancung bak perosotan anak-anak. Pipi mulusnya sedikit tembam. Dan jangan lupakan kulitnya yang seputih salju. Harsa dibuat terkesima dengan semua itu. Jika boleh jujur, gadis di hadapannya ini... begitu cantik dan manis.
Astaga! Sadarlah, Harsa! Tidak sopan bersikap seperti itu. Harsa sontak menundukkan pandangan. Merasa sedikit bersalah karena sudah lancang memperhatikan gadis yang tidak dikenalinya dengan lekat seperti tadi.
“Tangan kamu luka. Mau saya obatin dulu?” Gadis tersebut menatap khawatir telapak tangan Harsa yang lecet.
Harsa menggeleng cepat, “Nggak usah. Gak apa-apa. Cuma luka kecil.”
Harsa berdiri diikuti gadis itu. Ia menepuk celana belakangnya yang sedikit kotor. “Bukan salah kamu. Saya juga tadi jalannya nggak hati-hati. Maaf, ya.”
Gadis itu mengangguk pelan, kembali memperhatikan telapak tangan Harsa. “Itu... tangan kamu beneran nggak apa-apa?”
Harsa menanggapinya dengan anggukan. Ia mengalihkan tatapannya ke arah lain.
“Sekali lagi saya minta maaf. Saya harus pergi, permisi.”
“Eh?” Tangan Harsa terangkat di udara. Gadis itu langsung berlari pergi meninggalkannya.
Harsa memperhatikan tubuh pendek dan kecil itu hingga semakin menjauh. Embusan napas Harsa keluarkan. Ia melihat telapak tangannya yang lecet, kemudian menggeleng kecil. Harsa membungkuk mengambil tas berisi bukunya yang masih tergeletak. Namun, tangannya terhenti saat matanya tak sengaja mendapati selembar kertas putih ada di sana. Harsa mengambilnya, ternyata kertas tersebut berisi sebuah lukisan. Lukisan tersebut terlihat dilukis menggunakan pensil. Bergambar sebuah taman yang dipenuhi bunga-bunga dengan satu ayunan yang tengah di duduki seorang perempuan bergaun panjang dengan mahkota kecil di kepala. Terlihat sangat cantik dan indah. Harsa yakin kertas ini milik gadis tadi.
Mengedarkan pandangan ke sekitar, Harsa tak dapat menemukan gadis tersebut. Sepertinya sudah pergi jauh. Seingatnya gadis itu berlari ke arah selatan. Apa dia harus mengikuti dan mencarinya agar bisa mengembalikan kertas ini? Tapi dirinya tidak tahu gadis itu pergi dengan tujuan ke mana.
Kembali melirik jam di tangan, mata Harsa terbelalak. Waktu sudah semakin sore. Dia harus segera pulang.
Harsa merapikan penampilannya lalu bergegas mengendarai motornya. Biarlah kertas berisi lukisan indah ini dirinya simpan dahulu. Siapa tahu ia bisa kembali bertemu dengan gadis itu.
Gadis pemilik mata sendu yang entah mengapa seakan-akan menyihirnya dan membuatnya merasakan gelenyar aneh di hati.
....
Tuk!
Bunyi pensil yang di simpan di atas meja kayu terdengar. Harsa meregangkan otot-otot tangannya yang pegal setelah kurang lebih satu jam berkutat dengan tugas-tugasnya.
Teh hangat dicangkir plastik Harsa seruput. Rasa manis membalut lidahnya, menghantarkan hangat di tenggorokan hingga cairan itu terjun ke lambung.
Buku-buku di meja beserta alat tulisnya Harsa bereskan dengan rapi. Ia beranjak menuju balkon sembari membawa cangkir berisi teh dan selembar kertas. Semilir angin malam langsung menerpa kulitnya. Bau khas hujan menguar di indera penciuman. Rintikan hujan masih turun membasahi bumi. Malam ini langit mendung tanpa kehadiran bulan dan bintang yang senantiasa menghiasi.
Harsa mendongak menatap pada kegelapan langit. Bibirnya tersenyum tipis, “Bunda lagi apa di atas sana? Arsa kangen, Bun.” Harsa berbisik pada dirinya sendiri.
“Bahkan Arsa juga nggak tau Ayah sekarang lagi apa. Laki-laki yang sangat Bunda cintai itu udah nggak pernah peduliin Arsa lagi. Arsa benar-benar kesepian di sini. Nggak ada yang peduli lagi selain Bi Inah yang selalu setia nemenin Arsa.”
“Arsa harus gimana, Bunda?”
Harsa lelah menjalani semua ini. Hidup dibawah tuntutan Haris yang benar-benar menekan dirinya. Harsa tahu ayahnya ingin yang terbaik untuknya. Akan tetapi, caranya itu tidak tepat. Haris tak pernah mau mengerti keadaan yang Harsa alami. Bahkan pria itu lebih mementingkan urusan pribadi dan keluarga barunya.
Pegangan tangannya pada cangkir menguat. Jika boleh jujur, Harsa ingin menangis dengan leluasa kala tekanan-tekanan itu membelenggu dirinya. Berharap semuanya perlahan membaik. Berharap semua rasa sakit yang ia alami ini bisa segera terbayar dengan sebuah kebahagiaan.
Namun, entah kapan hal itu tiba. Harsa hanya bisa bersabar seraya menjalani semuanya dengan lapang dada.
Harsa kembali meneguk susu cokelatnya. Hangatnya mulai pudar saat dicecap lidah. Teringat sesuatu, ia beralih menatap kertas di tangannya. Kertas berisi lukisan indah itu sedikit mengusik pikirannya. Harsa sedang memikirkan bagaimana caranya ia mengembalikan kertas milik gadis yang ditemuinya sore tadi.
Harsa masih bisa mengingatnya dengan jelas, tatapan sepasang mata sendu itu. Menyorot lembut dan menenangkan. Menghantarkan perasaan tak karuan dalam hati. Sepasang mata sendu itu, mengingatkan Harsa pada seseorang. Seseorang yang setiap waktu ia rindukan.
Harsa menghela napas perlahan, “Semoga bisa bertemu lagi. Biar kertas ini kembali ke pemiliknya.”
Ya, Harsa harap mereka dipertemukan kembali. Ada hal yang tak bisa dijabarkan yang membuat Harsa ingin kembali bertemu dengan gadis itu.
--=*=--
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesawat Kertas (HIATUS)
Teen FictionSosok laki-laki penyuka senja itu menatap penuh minat pada semburat lembayung yang menyapa saat sang surya mulai pamit pada tugasnya. Ditangannya sebuah pesawat kecil yang terbuat dari kertas putih tergenggam erat bersama dalam sebuah harapan yang...