˚ ༘♡ : empat ꒱

318 71 0
                                    

Yedam mengedarkan pandangannya kesekitar, tempat ini mirip perpustakaan karena terdapat banyak rak buku, beberapa meja beserta kursi disekitarnya.

Ia kemudian menoleh kebelakang, menatap sosok pemuda itu tengah membalut luka ditangannya dengan perban yang entah dari mana ia dapatkan.

Bukannya memperhatikan dirinya sendiri, Yedam spontan mendekati pemuda itu dan membantunya membalut lukanya yang tak berhenti mengeluarkan darah.

"Terimakasih." ujar pemuda itu membuang pandangannya kearah lain.

Yedam hanya membalas dengan gumaman, ia kemudian menyenderkan tubuhnya pada tembok dan kembali melamun.

"Lukamu sendiri bagaimana?" tanya pemuda itu sembari mengeluarkan sebuah nota dan pulpen dari kantung seragamnya.

"Tidak sakit, biarkan saja." jawab Yedam acuh, yang coba ia pikirkan saat ini hanya bagaimana caranya keluar dari tempat aneh ini.

"Kenapa makhluk itu mengerjar kita? Apa kita berbuat salah atau semacamnya?" tanya Yedam setelah beberapa saat diam.

Ia tak bisa lagi memikirkan kemungkinan aneh seperti kekuatan teleportasi, masuk kedunia komik atau semacamnya. Kalau Yedam berfikir ulang, keadaanya cukup berbahaya bisa saja Yedam terbunuh dan tentu saja ia tak mau hal itu terjadi.

"Mereka bukannya mengejar kita, hanya aku. Makhluk itu hanya mengincarku." ralat pemuda itu sembari meluruskan pandangannya kedepan, menatap hamparan buku yang terdapat dirak besar yang menyamai perpustakaan sekolah.

"Setiap bel berbunyi aku harus melarikan diri dari kejaran makhluk itu, setelah lolos aku bisa lega untuk sementara."

Setelah mendengar penjelasan dari pemuda itu, Yedam tak membalas lagi. Kepalanya terasa sakit karena kekurangan tidur serta mungkin karena terlalu banyak berfikir. Menit demi menit berlalu, dan hanya keheningan yang menemani dua insan itu.

"Kenapa ini terjadi padaku?" keluh Yedam akhirnya mendudukan dirinya dilantai karena kelelahan berdiri, ia kemudian menenggelamkan kepalanya dilipatan lutut, dan tak henti-hentinya menghela nafas.

"Karena kau membeli Egg." sahut pemuda itu santai, ia masih berdiri dan kini kembali memusatkan pandangannya pada nota ditangannya.

"Aku tidak──aku diberi telur oleh Kunang-kunang." sangkal Yedam kesal, kemudian ia terdiam lagi karena tak ada gunanya juga kesal disituasi seperti ini.

"Berarti tidak punya teman?" tanya pemuda itu akhirnya menutup nota kecilnya dan menatap Yedam.

"Aku tidak perlu, bukannya tidak punya." sangkal Yedam sembari mengerutkan alisnya, ia tak menatap pemuda itu.

"Bohong." tanggap pemuda itu dengan tawa kecil diakhirnya.

"Benar."

"Kalau benar kau tidak akan memecahkan Egg nya,"

"itu bukan hal yang memalukan, aku juga tidak punya teman." sambung pemuda itu sembari ikut duduk dilantai sehingga akhirnya mereka duduk bersampingan.

"Bohong." ujar Yedam dengan dengkusan kecil, ia meluruskan kakinya dan menaruh lengannya diatas paha.

"Aku tidak." sangkal pemuda itu sambil menatap Yedam, berusaha meyakinkan bahwa ia tidak berbohong.

"Terserah, jangan menatapku terus." balas Yedam akhirnya, ia merasa sedikit terganggu dengan tatapan pemuda itu.

"Baiklah, kalau begitu siapa namamu?" tanya pemuda itu lagi dengan pandangan yang mengarah kesekitarnya.

"Bang Yedam, dan kau?"

"Kim Doyoung," balasnya sembari tersenyum kecil yang tentu saja tak bisa dilihat oleh Yedam. Ia kemudian mengulurkan tangan kanannya tanpa menatap Yedam.

Yedam menatap tingkah Doyoung dengan pandangan heran bercampur aneh. Ia akhirnya memilih mempertanyakan kelakuan aneh Doyoung.

"Kau kenapa?"

"Aku mengulurkan tanganku untuk bersalaman, bukankah itu yang biasa dilakukan dua orang yang baru mengenal?" jelas Doyoung jujur.

"Kenapa tidak menatapku?" tanya Yedam sembari membalas uluran tangan Doyoung.

"Bukannya kau berkata 'jangan menatapku' tadi? Tapi, kalau begitu sekarang sudah boleh 'kan?" ujar Doyoung kemudian menatap Yedam dengan senyumnya.

"Kau aneh," ujar Yedam disusul dengan tawa kecil setelah melepas salaman tangannya

Rupanya sikap Doyoung tak terlalu buruk juga setelah diajak bicara, hanya saja awal pertemuan tadi memang agak mengesalkan.

"Terserah apa katamu, aku tidak peduli." balas Doyoung malas, ia teringat sesuatu dan kembali bertanya.

"Lukamu, apa benar tidak apa-apa?" tanya Doyoung sekali lagi sembari memperhatikan hoodie Yedam yang penuh dengan bercak darah.

"Aku baik-baik saja, aku berteriak sebelumnya karena terkejut." balas Yedam jujur, ia mengusap bagian pinggangnya dan hanya bisa menemukan darah disana.

"Begitu, semoga kau benar baik-baik saja."

Setelah itu keheningan kembali memenuhi ruangan besar itu, mereka sama-sama kehabisan topik pembicaraan.

"Hei, apa ini artinya kita sudah menjadi teman?" tanya Yedam dengan nada pelan pada Doyoung disampingnya.

"Um, sepertinya begitu. Bahkan orang yang hanya sekedar mengetahui nama satu sama lain bisa dianggap sebagai teman." sahut Doyoung sembari memainkan pulpen ditangannya.

Yedam yang mendengar ucapan Doyoung bergumam lagi, ia mengedarkan pandangannya dan menemukan sesuatu yang janggal disebelah kiri ruangan.

"Doyoung, lihat itu." panggil Yedam sembari menunjukkan bercak merah seperti darah yang mulai memenuhi sebelah kiri ruangan sana.

Pintu yang ada disana terbuka, wanita itu kembali muncul diikuti makhluk aneh yang mulai mendekati mereka.

"Ayo pergi." ajak Doyoung sembari menarik tangan Yedam.

Namun Yedam hanya bergeming, dengan tatapan yang sulit diartikan. Doyoung pun segera menyadari apa yang terjadi dengan cepat.

"Maaf, Doyoung." ujar Yedam pelan.

Doyoung berusaha tersenyum dan membalas, "Kenapa meminta maaf? Bukankah mereka yang jahat?"

Doyoung kemudian mulai berjalan menjauhi Yedam, ia sedikit melambaikan tangannya sebelum berlari keluar ruangan dengan makhluk aneh yang terus mengikuti langkahnya.

Yedam menatap makhluk itu yang mulai menjauh diiringi bercak darah yang perlahan memudar dari ruangan itu.

Hanya satu hal yang bisa Yedam pikirkan saat ini.












"Benar.. mereka tidak mengerjarku."

───────🌼─────────
───────

wonder | dodam ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang