»»--(2)--««

208 20 0
                                    

Di dalam mimpi,
keluargaku bangga padaku.

CAPEK; Cari Respek

Sama kayak kemarin, gue terbangun di saat denyutan kuat di urat pelipis kasih instruksi. Tekanannya bisa terasa sampai ke tulang, tapi mereka kaku dan perlu waktu buat bisa bergerak.

Sama kayak kemarin, gue bakal buka mata di saat tiap-tiap goresan luka terasa perih, di saat beberapa lebam mendadak nyeri, dan di saat titik sendi yang membengkak berubah menyiksa.

Sama kayak kemarin, gue bakal bangkit tanpa sendiri, tanpa ada satu pun orang yang tanya dengan raut khawatir, tanpa mendengar sambutan manis di pagi hari.

Ruang tengah terasa aman, sepertinya Mama dan Papa sudah pergi entah sejak kapan. Dapur juga rapi, bahkan seluruh rumah terlihat bersih, mungkin mereka sudah insaf dari perkelahian semalam.

Tapi tetap saja, gue masak sendiri, sarapan sendiri, nyiapin semuanya sendiri. Rumah kami sepi banget, dan memang lebih baik kayak gini daripada dengar teriakan penuh amarah melulu.

Kalau sang tuan putri bakal merasa pagi sebagai awal menjalani hari yang cerah, menurut gue itu cuma ada di mimpi. Gue sering mendapatkannya, melihat Mama dan Papa menatap anaknya sambil tersenyum, lalu memeluk gue dan berkata, "Selamat pagi, Sayang!"

Apa enggak bisa sekali aja gue dapat hal itu? Bahkan orang tua gue enggak pernah mencoba meski pura-pura. Apa seburuk itu keberadaan gue sebagai anak? Apa mereka pikir gue baik-baik aja selama ini?

Ada banyak pertanyaan yang pengen gue sampaikan ke mereka, tapi apa daya? Mereka sibuk. Satu sibuk bekerja; satu sibuk menghabiskan uang. Bahkan mereka sangat kompak kalau disuruh sibuk berkelahi. Mungkin keluarga kami mampu mendapatakan penghargaan keluarga no damai-damai tingkat provinsi di Jakarta.

Baju sekolah gue masih kotor, kemarin gue enggak sadarkan diri di lantai kamar mandi sampai kainnya kering sendiri. Bahkan enggak kering-kering banget, soalnya kalau dipegang tetap terasa dingin. Lagian nanti bakal kering juga karena ke sekolah jalan kaki. Gue cuma kasih parfum banyak-banyak, ralat, Downy hitam (bekas) yang bungkusnya gue pungut di bak sampah.

Ke sekolah kayak Princess?

Salah.

Ke sekolah kayak gembel?

Benar.

"Ih anakku Renita kemarin ulangan harian matematika dapat tujuh puluh lima, Jeng!"

"Wah, alhamdulillah, Jeng! Kalo anakku Andrafa bilang dapat delapan puluh!"

"Ocha dapat tujuh puluh aja, tapi itu syukur, Jeng. Saya tetap bangga!"

Suara ibu-ibu yang menunggu tukang sayur lewat terdengar pas gue lewat salah satu rumah tetangga, mereka cerita tentang anak-anaknya. Bangga ya? Gue yang dapat seratus aja KAGAK SOMBONG tahu! Cuma kurang orang tua aja yang membanggakan gue kayak teman-teman lain.

"Eh itu si Feyra." Gue tau itu bisikan, tapi telinga gue peka kalau ada yang nyebut nama gue. Seketika tuh tongkrongan jadi sepi, mereka lihatin gue kayak nemu tai mengapung di sungai. Jahat banget, 'kan? Iya. Memang kayak gitu.

"Baru berangkat sekolah, Nak Fey?" Salah satunya spontan menanyai.

"Aduh, anak gadis kok kayak gitu? Enggak diajarin orang tua buat bangun pagi ya?" Dan salah satunya menyahuti.

"Oh iya lupa! Orang tua mana yang mau ngurusin anak haram?" Lalu mereka tertawa dengan perkataan terakhir itu.

Gue enggak pernah marah kalau orang tua gue dikata-katain kayak gitu. Yang bikin gue marah adalah, kenapa mereka mencibiriku di saat lagi ngemil jengkol? Gue benci makanan itu, soalnya WC sekolah (enggak SD, enggak SMP, enggak SMA) selalu jadi bau gara-gara itu. "Aduh Ibu-ibu... mulutnya udah kotor, ngemil jengkol lagi," kata gue seraya melanjutkan perjalanan.

"Orang tuanya dibilangin ya, kalau punya anak mulutnya dijaga!" Salah satu terdengar meneriaki gue lagi. Enggak salah sih, soalnya memang terlihat gue yang harus ngajarin orang tua ketimbang orang tua yang ngajarin gue.

Mereka semua juga orang tua biasa, tapi merasa dinaikkan derajatnya oleh anak-anak mereka. Teman-teman gue memang termasuk beruntung karena lahir dari keluarga baik-baik, jadi keluarganya tinggal melebih-lebihkan hal baik itu biar mereka terlihat jadi sangat baik.

Sedangkan gue, jangankan diceritakan sebagai bahan kebanggaan. Bahkan orang tua gue enggak tau makanan apa yang gue suka, warna apa yang gue benci, dan mainan apa yang mau gue milikin. Semua itu cuma ada di dalam angan gue semata.

Bersambung...

CAPEK | Cari Respek ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang