»»--(3)--««

166 18 0
                                    

Ada cinta untuk orang tolol,
dan saya orangnya.

CAPEK; Cari Respek

"Ocha, ayolah sebentar doang!"

"Ocha! Ocha! Ocha!"

"Temenin gue, jadi lu jangan pulang duluan. Nanti Bunda nanyain gue ke elu."

Dari tadi Renita terlihat rayu-rayu Ocha terus, mereka duduk pas di depan gue, semeja berdua, sedangkan gue di belakang duduk sama Andrafa. Selain enggak punya orang tua yang perhatian, gue juga enggak punya teman cewek. Kalau Andrafa? Dia cuma numpang di sini, katanya terpaksa sebangku sama gue karena stok tempat duduk sudah habis.

Iya bodo amat sih.

Yang penting Andra sekolah, karena kalau dia selama ini enggak ada, mana mungkin gue mau menjalani hidup sebagai cap anak haram.

"Baru sampai sekolah? Ini udah jam istirahat." Andra menegur gue.

"Apa bedanya? Yang penting ke sekolah," jawab gue.

"Beda. Sekolah ada aturan, tata tertib, tepat waktu dan jaga sikap. Kenapa lu kayak anggap sekolah yang penting datang? Enggak gitu."

"Oh. Si paling merasa bener."

Gue memang naksir Andra, dari dulu, dari gue tau kalau anak tetangga ada yang seganteng dia, dari usahanya ngajak gue maling mangga dan berujung gue yang dimarahin warga se-RT, dari takdir kami yang masuk sekolah sama; kelas sama; guru sama.

Bedanya cuma satu. Keluarga dia harmonis, sedangkan keluarga gue kek pengemis. Kadang gue mikir kenapa Andra yang keluarganya aman tentram damai justru kelakuan anaknya naik turun. Di depan sok anak berbakti, dan di belakang nusuk harapan pakai belati. Andra itu nakal, banget. Nongkrong sana sini. Minuman keras gonta ganti. Jalan kesana kemari buat cari kesenangan. Bahkan balapan juga.

Dengan garis bawah, tiap weekend.

Ibunya tiap hari cerita kalau Andra anak baik-baik ke ibu-ibu tetangga lain, tanpa tahu kalau anaknya keluar, maka kelakuannya kayak enggak punya orang tua. Dia bisa ngaku belajar kelompok, padahal lagi mabuk-mabukan. Cuman gue yang tau, kenapa? Karena gue bukan dari keluarga baik-baik.

"Besok gue mau nongkrong." Andra mulai lagi, dan meletakkan dagu di ujung pundak kiri gue. "Temenin ya, Fey," pintanya.

Gue menghela napas. "Lo manfaatin gue banget ya, An," ujar gue.

Dia cengengesan. "Kalo kegrebek, kan tenang ada elu. Entar gue gak bakal disalah-salahin amat. Soalnya kalo gue disalahin, entar orang tua gue yang malu. Tapi kalo lu yang disalahin, kayak udah biasa aja, 'kan? Keluarga lu udah dicap malu-maluin juga." Terdengar seperti penghinaan, tapi gue setuju.

CINTA BIKIN GOBLOK YA.

Itulah gue. Saking sukanya sama Andra, gue rela dapat hukuman pas razia rokok. Saking sukanya sama Andra, gue rela kena skors pas ada tawuran antar kelas bahkan antar sekolah. Saking sukanya sama Andra, gue rela dituduh dan dipermalukan seakan gue rasa, hidup tuh enggak ada tujuan lain selain untuk Andra. Cuma dia yang bisa bikin suasana hati gue terasa nyaman, dan banyak orang yang mungkin enggak paham sama rasa itu.

Gue enggak pernah punya keegoisan yang untuk memiliki Andra, karena pas lihat dia bahagia aja, semua jadi terasa cukup buat gue.

"Tapi gue yakin, Fey. Gue enggak akan pernah ketahuan, karena Allah melindungi anak yang selalu dapat doa positif dari sang Ibu. Jadi kayaknya hari ini lu enggak usah temenin gue juga enggak apa-apa."

Gue mengiyakan.

"Fey, minta foto lu boleh?" Renita tiba-tiba mengajak gue bicara, meski hubungan kami biasa aja, tapi masalah obrolan masih tetap berlangsung layaknya makhluk sosial.

"Buat apa?" Gue tanya sebelum setuju.

"Ya... Buat disimpan lah, masa kita temenan gak pernah foto. Yuk! Yuk! Ciiisss!"

Untuk pertama kalinya, gue tersenyum di depan kamera.

Bersambung...

CAPEK | Cari Respek ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang