Maaf...
Aku memang orang lemah.✥
—CAPEK; Cari Respek
✥
"Anggita! Anakku jadi dapat kabar buruk pasti karena anakmu!"
"Aku enggak perduli ya, Ocha pasti dihasut oleh Feyra buat jadi pelacur. Anakku itu anak baik-baik!"
"Dari lama aku selalu menasehati anakku supaya enggak berteman sama Feyra, karena ujung-ujungnya pasti kayak gini!"
"Ya Gusti, Ya Rabb. Apa salahku sampai-sampai anakku, Renita, yang cantik dan sholehah dapat fitnah kejam seperti ini?"
Dari dalam kamar, gue denger Mama Renita dan Mama Ocha bergantian memarahi Mama. Dan enggak ada satu pun kata yang bisa gue tangkap dari mulut Mama. Beliau bungkam. Bahkan gue yakin sekarang lagi tertunduk dan bingung mau menyanggah seperti apa.
Ma... Apa enggak bisa sekali aja bela anakmu ini? Apa sesulit itu percaya kalau Feyra, anakmu enggak melakukan apa-apa? Apa harus diam dan membisu seakan terima kalau ini semua salah anakmu? Kenapa, Ma?
Ingin rasanya gue melangkah keluar dan berteriak, TIDAK TAHU APA-APA. Tapi gue mikir lagi, buat apa? Buat apa buang-buang tenaga di saat orang lain saja yakin semua ini salah gue? Bahkan kalau di posisi Mama, mungkin gue juga melakukan hal yang sama.
Diam tanpa mereka tahu yang sebenarnya.
Puncak emosiku tidak mudah terpancing untuk masalah beginian saja. Aku bahkan sudah sering menerima masalah yang dibuat oleh Renita dan Ocha, lantas seperti orang bodoh, gue berulang kali jadi bahan utama yang menyelamatkan mereka dari pandangan buruk mata orang tuanya. Sebab gue tahu, bagaimana sulitnya mendapatkan kepercayaan orang tua jika sudah dihancurkan.
Sakit hati terberatku bukan lagi berhubungan dengan hal seperti ini, tapi pada postingan Andra yang berstatus : pacar terkini dengan gambar Naura si bintang sekolah.
Andra mempublikasi hubungan.
Setelah sore tadi mengatakan cinta padaku.
APA-APAAN INI?!
Kenapa, Tuhan? KENAPA HIDUP GUE HARUS BERANTAKAN KAYAK GINI? KENAPA?!
Dunia gue terasa hancur. Semua harapan baik hangus dibakar berbagai macam api. Di jendela kamar yang terbuka, gue berdiri dan melampiaskan ucapan gue yang selama ini tertahan. "GUE CAPEEEKKKKK! GUE CAPEK LIHAT ORANG BAHAGIA SEDANGKAN GUE ENGGAK! KENAPA HARUS GUE YANG ALAMIN INI SEMUA KENAPA?"
Bertahun-tahun gue menahannya, mencoba tetap tegar walau hati selalu buyar. Dihujam banyak benda tajam dari berbagai sudut dengan menjaga hati yang polos untuk mencintai seseorang. Tapi kenapa? Apa yang salah dalam hidup gue? Bahkan setelah teriakan tadi, orang-orang sekitar mendatangi rumah kami dan mengatakan, "Feyra gila."
Bayangkan. Mereka memandangku seperti itu. Mereka menganggapku tidak waras. Padahal lingkungan ini yang mustahil mampu gue adaptasikan. Amukan gue semakin menjadi-jadi di saat Mama mendekat, rasanya gue marah, marah banget sampai ngambil pisau kecil di atas nakas.
"Feyra, Nak ...."
"APA? MAMA ENGGAK PERNAH MAU ANAK KAYAK FEYRA LAHIR, 'KAN? LEBIH BAIK FEYRA MATI AJA! ENGGAK ADA YANG MENCINTAI FEYRA DI SINI, MA! ENGGAK ADA SATU PUN!" Gue menangis hebat kali ini, rasanya dunia berwarna runtuh tergantikan teriakan gue yang berdenging di telinga.
Cari respek memang enggak semudah yang kita bayangkan kalau kita terlahir dari keluarga yang kurang beruntung. Mau lu diam aja, pasti tetap salah di mata orang, tetap enggak bener di mata orang, tetap direndahkan di mata orang.
Cari respek enggak berlaku buat anak haram, tumbuh kembang di rahim dari hasil pergaulan bebas. Mau lu sepintar Einstein, kalau lahir dari hubungan di luar nikah, derajat lu bahkan kalah dari sebuah sampah.
Cari respek hanya untuk orang mampu, sedangkan gue sudah cukup jauh mencoba agar dapat sedikit kebahagiaan. Dan nyatanya, gue orang yang enggak mampu.
Kekecewaan gue terhadap cinta, juga tuduhan yang semakin merajalela, membuat gue bikin keputusan untuk merasakannya sampai di sini aja. Gue enggak pantas hidup, dan gue enggak sekuat itu. Kebahagiaan akan datang pada waktunya —enggak pernah ada di dalam hidup gue, dan gue juga sudah cukup sabar menjalankannya.
Mungkin gue bukan deretan orang yang paling sabar di dunia ini, tapi gue yakin ini keputusan Tuhan. Dan dari potongan cerita ini, cukup memperlihatkan bahwa hanya ini kemampuan yang gue punya.
Gue... Resmi menghembuskan napas terakhir setelah urat nadi terpotong sempurna.
Selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAPEK | Cari Respek ✔️
Short Story"GUE CAPEK! GUE CAPEK LIHAT ORANG BAHAGIA SEDANGKAN GUE ENGGAK! KENAPA HARUS GUE YANG ALAMIN INI SEMUA KENAPA?" Gue gak sekuat itu. Dan teriakan yang gue ledakkan di depan jendela lantai dua, membuat orang sekitar anggap gue gila. Padahal, keadaan y...