Ma... Apa begitu sulit untuk
meminta rasa percaya darimu?
Anakmu tidak bersalah, Ma...✥
—CAPEK; Cari Respek
✥
Rumah sepi lagi. Mama sama Papa belum ada yang pulang kayaknya. Enggak apa-apa, seenggaknya gue bisa tidur dengan tenang malam ini. Seharian tadi cukup lelah karena nunggu Andra main di hotel Khuareber —hotel khusus anak remaja berdiskusi.
Jakarta punya sisi terpencil yang membuat manusia membangun gedung kurang berfaedah ini, dan saat tahu harganya terjangkau sekali, Andra langganan diskusi sama temen-temen cowoknya ke sini. Gue sih enggak pernah tau isi gedung itu, soalnya cuma duduk di pinggir jalan dan berteduh di pohon mangga sampai terlelap kadang.
Gue juga mikir lebih baik nemenin Andra ke mana-mana daripada di rumah jadi penonton gratisan drama orang tua gue, tapi untuk yang hari ini, entah kenapa rasanya capek banget. "Gue suka sama lo, Fey." Capek karena dapat respek yang selama ini gue cari!
Andra bilang kayak gitu di depan semua teman cowoknya tadi, dia natap gue dengan begitu tulus sampai akhirnya gue nangis detik itu juga. Lu semua tau, awalnya gue pikir enggak ada cinta di dunia ini. Tapi karena Andra, gue bener-bener bisa ngerasain apa itu bahagia.
"FEYRA!"
Pintu dihempas kuat, langkah kaki berdegum kayak hulk yang datang, terus berdiri sosok sangar Mama tersulut emosi di depan kamar gue. "ANAK NAKAL!" Dia membawa balok sepanjang tiga puluh senti, entah didapat dari manakah itu, tapi yang pasti, tubuhku tidak akan baik-baik saja malam ini.
"KENAPA KAMU ENGGAK BISA BANGGAIN MAMA, NAK? APA DOSA MAMA SAMPAI KAMU HARUS KAYAK GINI?" Dia menangis, terlihat seperti seorang ibu yang gagal mendidik anak gadisnya. Tidak biasanya seperti ini, berarti tandanya Mama marah bukan karena Papa, melainkan hal lain.
Pukulan demi pukulan mendarat di punggung belakangku, rasanya biasa aja, gue juga menghadapinya dengan wajah datar tanpa ekspresi. Beda kayak pertama harus menangis berteriak seperti sedang dipanggang dalam alat pemanggang.
"Lihat!" Mama menyerahkan ponsel dengan tangan gemetar, lalu dia lemas duduk di hadapanku. "Kenapa kamu jual diri, Feyra? Jangan... Jangan ikuti jalan Mama dulu... Jangan, Nak!" Gue sedikit tertegun melihat gambar di layar mini itu, foto di sekolah tadi, dan cuma bagian gue aja yang muncul.
"Ma, Feyra... "
"Keluarga kita udah hancur, kenapa kamu harus bikin makin hancur? Kamu mau Mama gila?" Tangisan Mama beneran beda dari biasanya. Gue bisa menangkap kesedihannya sebagai seorang anak, bahkan otak gue kurang mampu berpikir jernih untuk menyerap semua yang terjadi.
"Bukan Feyra, Ma," kataku, "Feyra gak ngapa-ngapain." Tiba-tiba gue mau Mama gue mengerti, gue mau Mama percaya sama omongan gue, gue mau Mama berpikir kalau gue anak baik-baik di sini.
"BOHONG! KAMU PUNYA DENDAM, 'KAN SAMA MAMA DAN PAPA!" Tapi sayang, meski dalam keadaan begini pun, gue tetap dipukul dan dimarahi. Sebuah khayalan semata di mana gue bener-bener bodoh berharap ada pembelaan buat gue.
Sambil terbungkuk lemah, gue sempat menyeret portal artikel yang ada di ponsel Mama. Ternyata ada banyak posting di sana, termasuk adanya wajah Renita dan Ocha dengan memasukkan harga 1 juta permalam. "Fotonya bagus, bakal gue cetak buat kenang-kenangan. Kapan-kapan kita seringin foto bertiga, 'kan kita tetanggaan."
PERSETAN! Bukan untuk kenang-kenangan, tapi untuk postingan. Seketika gue mengerti kenapa foto gue tiba-tiba muncul di bawah foto mereka berdua.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
CAPEK | Cari Respek ✔️
Short Story"GUE CAPEK! GUE CAPEK LIHAT ORANG BAHAGIA SEDANGKAN GUE ENGGAK! KENAPA HARUS GUE YANG ALAMIN INI SEMUA KENAPA?" Gue gak sekuat itu. Dan teriakan yang gue ledakkan di depan jendela lantai dua, membuat orang sekitar anggap gue gila. Padahal, keadaan y...