1. Berpisah

86 6 11
                                    

Hai, apa kabar?
Semoga kalian sehat.
Bertemu lagi bersama aku wkwk
Selamat membaca karya baruku!
Jangan lupa klik bintang, ya, terima kasih!

***

"Mbak Anti nggak apa-apa Nana tinggal?"

Antika mencoba menahan air matanya melihat Nana yang berkaca-kaca. Nana si gadis cilik berumur 6 tahun yang ia asuh selama 5 tahun ini. Mereka berdua harus berpisah karena Nana dan keluarganya meninggalkan Jakarta hari ini. Mereka akan menetap di Bali, menemani neneknya yang sudah menua.

Antika mengangguk dan berujar penuh keyakinan, "Nggak apa-apa, Nana kan udah besar jadi Mbak nggak bisa bareng sama Nana lagi."

"Tapi aku pengin sama mbak Anti aja." Nana mulai terisak pelan dan mendongak memberi tatapan memohon pada mama dan papanya. "Mbak Anti nggak bisa ikut ke Bali? Aku mau Mbak Anti ikut."

Olivia yang merupakan ibu Nana menggeleng lembut. "Nggak bisa, Nana sayang. Mbak Anti punya keluarga, lagipula udah lama banget Mbakmu nggak pulang ke kampung, kan? Pulangpun waktu lebaran dan itu cuma beberapa hari doang."

Nana menumpahkan air matanya, ia sudah lama bersama Antika dan rasanya sakit bila harus berpisah. Nana akan sangat merasa kehilangan. Tak ada yang menari bagai orang kerasukan saat ia menangis, tak ada yang memeluknya saat tidur siang dan malam, tak ada kegiatan membuat donat dan yang lainnya bersama.

Antika merendahkan tubuhnya agar bisa memeluk Nana yang balas memeluknya lebih erat. Antika berujar penuh kelembutan sembari mengusap rambut lurus dan halus milik Nana, "Walaupun jauh, kita masih bisa telepon dan video call, kok. Kamu bisa minta mamamu buat hubungi Mbak."

Antika melepas pelukan, jemarinya menyentuh pipi tembam kemerahan dan menghapus air mata yang masih mengalir. "Belajar yang rajin, jangan suka main handphone, jangan main-main di dapur sendirian, jangan main di dekat jalan raya, makan yang teratur, tidur siang, dan jangan tidur terlalu malam. Pokoknya baik-baik kamu di sana, oke?"

Nana mengangguk kuat mendengar itu, tangannya meremas kuat tangan Antika yang berkeringat. Fatih sang ayah tersenyum lalu berujar penuh kelembutan bahwa mereka harus segera menaiki mobil. Olivia menarik lembut Nana yang sulit sekali melepaskan tangan Antika.

"Nana jangan begitu, tangan Mbakmu pasti sakit."

Antika mengusap lembut tangan mungil itu sambil berbisik lembut. "Jangan kayak gini, ya? Nanti kita ketemu lagi, kok, tapi entah kapan. Mbak harus cari duit banyak-banyak biar bisa terbang ke Bali ketemu kamu."

"Princess Nana nanti harus sabar, ya. Berdoa aja biar Mbakmu cepat ketemu kamu dan bawa adik kecil biar bisa main bareng sama kamu di sana nanti. Katanya kamu pengin punya adik, jadi harus sabar, ya." ujaran Fatih membuat sang istri terkikik. Dengan mata bebrinar Nana memandang 3 orang dewasa di hadapannya.

Antika memasang wajah cemberut. Ayah Nana memang menyebalkan sedari dulu. Aneh. Kenapa pula membawa-bawa adik ke dalam pembahasan ini.

Antika berujar dengan memandang Fatih penuh kekesalan, "Nana bisa minta adik ke Papa dan Mama, kalau ke Mbak masih lama kayaknya."

"Jangan dulu!" Fatih langsung melotot. Iya, ia masih merasa ngeri mengingat dulu ia melihat Olivia berdarah-darah saat mengeluarkan Nana. Bagaimana bisa lubang itu mampu dilewati kepala Nana yang besar.

"Astaga kalian!" Olivia menggelengkan kepalanya. Ia menarik lembut Nana yang sudah melepaskan tangan Antika. Menarik Nana agar berada di sampingnya.

"Aku mau adik dari Mbak, Mama dan Papa, biar ada 2! Yes, pasti asik!" ujaran Nana membuat mereka meringis. Nana memandang Antika dengan sedikit binar. "Mbak jangan lupain Nana, ya!"

Sebelum memasuki mobil, mereka bergantian memeluk Antika. Nana melambaikan tangannya hingga mobil itu menghilang setelah melewati gerbang. Tangan Antika yang terangkat perlahan turun, ia menenteng tas berisi pakaian dan tetek bengeknya lalu berjalan meninggalkan rumah yang selama 5 tahun ini ia tinggali.

Sebenarnya ia diminta ikut mobil mereka untuk mengantarnya ke terminal, tapi ia menolak karena pasti merepotkan. Ia juga takut Nana berubah pikiran dan kembali menangis.

Antika menaiki ojek online yang sudah ia pesan menuju terminal. Sesampainya du terminal, ia melihat bus sudah terparkir. Antika segera menaikinya setelah memberi tiket pada kernet yang berjaga di pintu. Di dalam bus terlihat sudah hampir terisi penuh penumpang. Melihat bagian bangku yang kosong, segera ia mendudukinya, mengambil tempat di pojok dekat kaca.

Antika membuka handphonenya dan mendapati panggilan tak terjawab dari ibunya, ia pun menelepon balik. Bunyi 'dut' beberapa kali terdengar. Bunyi yang menandakan panggilan tersambung lalu beberapa detik kemudian panggilan itu terjawab.

"Assalamu'allaikum, Mak. Kepriwe?" Jangan tiru, ya. Anti memang tak berbicara menggunakan bahasa krama pada orang tuanya.

"..."

"Iya, aku wis neng Bus. Kayaknya sebentar lagi berangkat, soale hampir penuh sama penumpang."

"..."

Antika mengangguk lemah mendengar ibunya memerintah Antika untuk selalu waspada. Melihat 5 orang berjenis kelamin sama seperti dirinya sudah memasuki bus, Antika membalas ibunya, "Yang duduk di sampingku ibu-ibu, Mamak ora usah khawatir. Aku tutup, ya. Assalamu'allaikum, Mak."

Antika memasukan hanphonenya pada saku jaketnya lalu memberi senyum sapaan pada wanita paruh baya yang beberapa detik menduduki kursi di sampingnya.

"Ibune badhe pundi?"

"Saya mau ke Banyumas, Mbak. Mbaknya mau ke mana?" Ibu berkerudung merah maroon menjawab sekaligus bertanya.

Antika sedikit membolakan matanya mengingat bus ini jurusan Jakarta-Onje, yang artinya akan turun di terminal Onje. Sedangkan Banyumas adalah tetangganya Onje. "Saya ke Onje, Bu. Banyumas, ya, kok ibu naik bus ini?"

Tawa kecil muncul di wajah yang terdapat sedikit kerutan namun terlihat cantik dan lembut. "Busnya ora nana, rapapa lah. Nanti di Onje saya mau sekalian nengok cucu, habis itu pulang ke Banyumas."

Antika mengangguk pelan sebagai balasan.

Kemudian bus melaju, meninggalkan terminal dan nantinya Jakarta. Antika menoleh karena mendapat colekan dari si ibu.

"Kita belum kenalan, saya Dewi. Nah, si Mbak namanya siapa?"

Antika memberi seulas senyum. "Saya Antika, Bu."

Bu Dewi mematung dan memandang lekat Antika yang terlihat salah tingkah. "Antika ... artinya Antik, ya."

Antika tersenyum tipis, membenarkan dalam hati bahwa namanya bisa berarti "Antik". Lalu ia memandang bingung pada Bu Dewi yang terlihat tengah merogoh tas bawaannya di lantai bus.

Bu Dewi meletakan kotak ke pangkuan Antika yang terkejut. "Buat kamu, saya bawa 2 kotak tadi. Ayo dimakan, masih lumayan hangat itu."

Mata Antika berbinar mengetahui bahwa kotak yang berada di pangkuan berisi nasi beserta ayam berselimut sambal. "M-matur nuwun, bu." Syukurlah, Antika hanya membawa minuman botol dan permen. Ia berniat menghabiskan waktu di bus dengan tidur, jadi hanya membawa itu saja.

Bu Dewi tersenyum begitu manis, ia juga meletakan kotak di pangkuannya. Merekapun makan bersama, terkadang mengobrol membahas cabai yang naik harganya dan lainnya.

Setelah makan, Antika menempelkan pipi pada kaca bus. Memandang kendaraan yang berjalan disampingnya. Besok pagi ia akan sampai di tanah kelahirannya. Kembali berjumpa dengan keluarga dan warga desa lainnya. Ia juga berharap mereka masih berada di luar kota, Antika tak sanggup membayangkan bila berjumpa. Perlahan matanya tertutup dan mimpi segera menyapanya.

Dan apakah Antika merasakan bahwa sebuah tangan mengusap lembut kepalanya dan memandangnya penuh binar?

"Rambute alus temen, nganggo sampo apa, ya?"

Bersambung◇

DUDA UNTUNG (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang