Untuk kalimat mengandung bahasa Jawa, kalian paham, nggak? Kayaknya aku translate di kolom komentar nanti.
Selamat membaca!
***
"Indla, ngeneh!" Indira yang wajahnya lumayan mendung tadi tak lama berseru senang melihat saudaranya datang.
Indra berjalan cepat tanpa takut terjatuh ke lumpur sawah, setelah sampai ia duduk di samping Indira. "Aku caliin, telnyata di sini."
Tanpa peduli wajah kusut Indra, Indira menawarkan kue pukis yang langsung ditolak. Indra berkata, "Aku wis waleg, Papa kasih aku ayam bakal tadi."
"Jadi ... kalian berdua warga desa ini?" tanya Antika yang dijawab dengan anggukan mereka berdua.
"Mbak lama banget di kota, sih." celetuk Saka yang terlihat kepedasan karena sambal.
"Kan, aku golet duit." Antika kemudian membuka bekalnya. Matanya berbinar melihat tumis cumi saus tiram yang dimasak ibunya saat ia ke warung tadi.
"Cumi! Aku mau cumi, mbak!" Saka langsung mendapat sikutan dari Mas Eko.
"Masih kurang, kamu?" Mas Eko melirik piring Saka yang terdapat nasi, masakan pepaya muda, sambal, tahu, dan tempe goreng.
"Kurang, lah, mas. Aku li lesune pol!"
Antika dengan gemas memberi sebagian cuminya untuk sang adik. Saka memberi ciuman jauh yang langsung dibalas dengan pelototan.
"Eh, Mbak Anti pulang kapan, ya?" tanya lelaki paruh baya berkepala seperti Ipin.
"Kulo pulang tadi pagi. Bapak niki pak Ratno, ya?"
Pak Ratno mengangguk kuat. "Nggih, leres."
"Septi apa kabar, pak? Maaf, dulu aku nggak datang kondangan."
"Nggak apa-apa," Pak Ratno menggeleng lalu wajahnya bersinar. "Si Septi baru lahiran minggu kemarin. Anaknya perempuan, ayu kayak biyunge."
"Wah, nanti secepatnya aku ke sana. Nggak sabar liat mereka."
Melihat para lelaki mulai mengobrol, Antika memilih memakan makanannya. Matanya tak henti memandang sekitarnya. Anak rambutnya terbawa angin segar. Tawa dan seruan heboh mereka membuatnya tersenyum tipis. Senyumnya melebar kala ia menemukan Indra yang tengah mengusap sisa-sisa kue pukis di bibir Indira.
Setelah diperhatikan, wajah 2 anak itu sepertinya mirip dengan seseorang. Seseorang yang ...
"Indra! Indira!"
Suara itu ... Antika tersentak membuat wadah bekalnya terjungkir. Nasi dan cuminya mencium lantai kayu gubug. Matanya membola melihat sosok di depan sana. Sosok yang perlahan berjalan di pematang sawah. Teriknya hari ini seakan kalah dari sosok itu.
"Papa!"
Cegukan langsung menyerang Antika. Pantas saja wajah mereka berdua sepertinya mirip dengan seseorang. Dengan cepat ia bangkit lalu berjalan cepat melewati pematang sawah belakang gubuk meninggalkan mereka. Tak apa jika ini memakan waktu banyak, karena ia berjalan memutar mengikuti pematang sawah menuju jalan pulang. Asal ia tak bertemu dengan dia, jalan penuh pecahan kaca akan ia lewati.
Saat melewati lapangan, sebuah bola menyapa kepalanya dengan keras. Langkahnya langsung terhenti dan sedikit oleng. Beberapa detik ia merasakan pusing. Kepalanya menoleh, memandang tajam mereka yang kini berlari mendekatinya.
"Maaf, mbak!"
"Ngapunten, mbak!"
Bibir Antika mengerucut sebal. "Iya!" Lalu ia melangkahkan kakinya dan terhenti sejenak untuk menoleh ke belakang. Ia berseru saat cegukan tak kembali menyerangnya. "Awas kalau kena kepalaku lagi! Tek sunati ko kabehan!"

KAMU SEDANG MEMBACA
DUDA UNTUNG (On Hold)
RomansaSetelah 5 tahun bekerja di kota, Antika kembali ke desa. Ternyata, seseorang yang paling ia hindari ada di sana. Untung yang memiliki label durendunak alias duda keren dua anak mengejarnya dengan penuh kekuatan. Antika sampai bosan mendengar permint...