5. Serangan

38 2 0
                                    

Pagi ini, Farah yang tengah memasak jengkol pedas memandang heran Antika yang sudah rapi dan duduk di kursi meja makan. "Kamu kenapa, toh? Kusut banget mukanya."

"Aku pengin makan jengkol, tapi nanti mau ke pasar beli hadiah buat Septi." Antika memandang nanar asap masakan yang melayang, menyerang hidung serta perutnya.

Farah meniup telapak tangannya yang diketuk pelan spatula. Merasakan apa masakannya sudah pas untuk dinikmati. Lidahnya mencecap dan tak lama binar muncul di matanya. "Rasane uwis pas!" Farah kemudian menoleh dan bertanya pada Antika yang menganga dengan wajah bodoh, "Oh, iya, Septi temanmu kan baru melahirkan. Kamu kapan?"

"Kapan-kapan, Mak!" Antika mengerucutkan bibirnya. Antika belum mau menikah. Ia malas berhubungan setelah kejadian itu. Kejadian yang membuatnya tak percaya pada laki-laki lain kecuali keluarganya. Belum menikah saja sudah--

"Coba kamu dulu nggak kabur, pasti kamu udah punya anak 2 atau 3."

--main belakang, apalagi kalau sudah.

"Mamak!" Antika bangkit dengan sedikit menggebrak meja makan. Wajahnya sedikit memerah dan cemberut. "Aku mau pergi sekarang, sekalian sarapan di luar. Aku nggak mau mulutku bau jengkol, nanti siang aja setelah jenguk Septi. Tolong, jegkolnya jangan dihabisin, ya."

Antika meninggalkan dapur sekaligus ruang makan. Saat memasuki kamar, pintu kamar sebelahnya terbuka. Saka muncul dengan ketampanan dan kerapian yang bisa membuat para gadis memekik pelan. Antika mengerucutkan bibirnya melihat Saka sudah memakai sepatu barunya. "Langsung dipakai, dek? Mau berangkat tanpa sarapan?"

"Sarapan dulu, lah. Nggak apa-apa kali kalau aku pakai sepatu, biar keluar langsung cus berangkat!"

"Iya, deh, yang punya sepatu baru."

Saka maju dan memeluk erat kakaknya. "Iya, deh, yang beliin aku sepatu baru. Thank you, sis!"

Antika sedikit terkejut. Ia membalas pelukan itu. Tangannya terangkat mengusap kepala Saka yang rambutnya basah. "Yes, your welcome, handsome!"

Saka melepaskan pelukan lalu mengecup kilat pipi kakaknya dengan wajah kegirangan.

"Aku mau sarapan, bye!"

Antika tersenyum lembut melihat Saka berlari menuju dapur. "Saka udah gede ... tambah tinggi pula. Aku kalah duwur."

Waktu terasa cepat sekali. Dan rasanya baru kemarin ia pergi meninggalkan kampung untuk bekerja di kota. Saat kembali, ia kira akan mendapat kenyamanan karena orang itu tidak tinggal di kampung ini. Ternyata tidak.

Apakah Antika harus pergi lagi?

***

Warung bubur ayam langganannya didatangi banyak orang membuat Antika merengut. Matanya menyipit mencari bangku kosong tapi tetap saja tak terlihat jelas.

Akhirnya ia memutuskan mendekati pria paruh baya bersarung. "Pak Burdin ..."

Pak Burdin yang tengah menyiapkan beberapa mangkok bubur menoleh. Matanya membulat melihat seorang gadis yang sudah lama tak ia jumpa. "Mbak Anti! Apa kabar? Pulang kapan?"

"Baik, aku pulang kemarin, Pak. Mmm ... tolongin aku, Pak." Antika mengginggit bibir bawahnya. Ia sangat tak merasa enak meminta bantuan Pak Burdin yang pastinya sedang sibuk.

Tangan Pak Burdin yang kokoh memegang centong berisi kuah bubur. Kuah panas yang menemani bubur beserta daging dan kawan-kawannya. Lalu Pak Burdin menoleh ke kiri, memerintahkan pekerjanya untuk mengantarkan pesanan.

"Gimana, Mbak?" tanya Pak Burdin.

"Tolong cariin aku tempat duduk, mataku buram soale. Bapak kan pakai kacamata." Antika menyengir lebar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 07, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DUDA UNTUNG (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang