The Lost World

352 44 14
                                    

Ketika harapan dihempas oleh takdir yang datang, disitulah kita hanya bisa menerima keadaan.

Seperti seorang Ibu yang memiliki harapan. Hidup selamanya bersama anaknya yang tersayang. Namun tiba - tiba di tampar kenyataan bahwa pelita hatinya telah pergi berpulang.

Nyatanya, hari - hari terpuruk belum hilang dari kehidupannya. Kehilangan sosok penyemangat hidupnya. Rasanya, Ardiana tak sanggup lagi melanjutkan hidup tanpa adanya dia, si bungsu yang telah pergi meninggalkannya.

Alfarizi Putra Azri, Kesayangannya telah pergi menghadap sang pencipta. Sejak hari itu, dunianya sudah hilang direnggut oleh takdir yang malang, menyisakan air mata yang masih menggenang, menjadi saksi bahwa seorang Ibu bisa menjadi hilang akal saat ditinggal selamanya oleh anak tersayang.

"Selama Bunda hidup, nggak ada yang lebih sedih dari kehilangan kamu, Nak"

Ardiana mengapus jejak air mata yang masih menggenang. Pandangannya masih pada baju terakhir si bungsu sebelum pergi meninggalkannya, sebelum anaknya memilih untuk mengakhiri hidup yang tak adil ini.
*****
Kilas Balik

Seperti Ibu pada umumnya ketika Pagi hari menyapa. Rasanya itu sudah menjadi kewajiban walau sudah ada asisten yang membantu. Setelah memasak sarapan, Ardiana membangunkan semua anggota keluarganya, dan yang menjadi terakhir dibangunkannya ialah Al, anak terakhirnya.

"Iya Bunda, ini udah bangun" ungkap Al. Seperti pada umumnya remaja yang susah sekali dibangunkan.

"Hei... Ayo, mandi lalu turun ke bawah buat sarapan" Ardiana mengelus pipi anaknya, merapihkan rambut anaknya yang berantakan.

"Iya.." Al sudah bangkit, tapi ia bingung mengapa Bundanya malah menariknya lagi

"Katanya disuruh mandi, Bun. Gimana si?" Kembali lagi pada kodratnya seorang remaja yang gampang kesal. Al memanyunkan bibir membuat Ardiana menggeleng dengan tingkah anaknya ini.

"Ya kamu. Mau mandi tapi masih tutup mata gitu. Nanti kalo jatuh gimana?" Omelnya.

"Bunda mah.. serba salah aku." Anak itu bangkit lagi, dan masuk ke dalam kamar mandi meninggalkan Bundanya yang menggeleng dengan tawa
khasnya.

*****

"Hari ini kamu yang mengantar Ridho dan Adis ke sekolahnya. Aku nggak bisa karna harus datang lebih dulu ke kantor" kata Arya, si kepala keluarga yang barusan menyuruh istrinya.

"Iya. Sekalian, aku juga yang akan antar Al" kata Ardiana. Biasanya, Al sekolah naik kendraan umum, Arya tak memperbolehkan siapapun untuk
mengantar Al. Namun, kali ini Ardiana ingin sekali mengantar anaknya, menjadi Ibu seutuhnya untuk anak terakhirnya.

"Apa kamu bilang? Enggak ya! Aku nggak izinin, Dia suruh naik angkut aja." Ardiana tetap menggeleng. Al menatap Bundanya, menggeleng seakan berkata jika dia tak apa berangkat sekolah seperti biasanya.

"Enggak! Aku mau antar Al juga, Mas! Aku udah biasa antar Ridho, juga Adis, tapi Al? Bahkan teman - teman sekolah nya nggak ada yang tau aku Ibu nya."

Ada perasaan sesak seperti dadanya dihantam batu saat dia mengatakan itu. Ardiana merasa gagal menjadi Ibu untuk Al. Tak ada yang tau dia memiliki Al, mungkin jika ada, hanya keluarga, dan orang - orang yang tinggal di rumah yang tau.

"Kamu mau bantah aku lagi? Cukup ya. Karna anak itu kamu sering membangkang. Aku suami mu, aku berhak mengatur mu, dan kamu harus menuruti ku."

"Tapi aku berhak menjaga Al anakku, aku berhak menjadi Ibu yang baik untuknya. Anak yang nggak kamu akui, Mas!"

"Cukup!"

Brakkk---

Arya bangkit dengan tangannya memukul meja dengan keras.

"Diam! Sudah ku bilang kamu harus nurut tentang apa yang aku suruh. Kita udah pernah membahas ini dan waktu itu kamu setuju untuk merahasiakan identitas anak ini, Diana! Dan kenapa sekarang tiba - tiba seperti ini? Dia memang anakku, tapi ingat, gak sedikitpun aku mengakui identitasnya, keberadaannya. Dia hanya seorang penghancur, dan benalu di keluarga ini. Kamu ingat? Kamu ingat bahwa dia yang menjadi penyebab Adik ku meninggal?"

"Mas!" tegas Ardiana.

"Kenapa? Kamu takut dengan reaksi dia setelah tau kebenaran ini?" Tangannya menunjuk - nunjuk Al yang masih diam di sana.

"Al, dengar. Kamu yang sudah membuat adik saya meninggal. Kamu ingat dulu? Saat usia mu 5 tahun? Kamu kecelakaan hingga dirawat cukup lama, dan berbarengan dengan itu, adik saya meninggal, Al. Karna apa? Karna dia menolong kamu Al! Di kecelakaan itu, yang seharusnya menjadi korban itu kamu, bukan adik saya!"

"Sekarang kamu udah tau kan kenapa saya membenci kamu?. Kamu itu pembunuh, kamu benalu, kamu perusak kebahagiaan keluarga saya! Sedari kecil kamu memang sudah menjadi beban, Al!. Dengan penyakit kamu, dan dengan kesialan kamu yang buat keluarga ini hancur. Sekarang, apa
mau kamu? Apa yang akan kamu lakukan lagi untuk membuat keluarga
ini hancur? Kamu mau rusak hubungan saya dengan istri saya?"

"Mas, cukup! Tutup mulut kamu dasar brengsek! Pergi kamu, pergi!" Teriak Ardiana.

Arya memang pergi sekarang. Wajahnya merah padam, dengan emosi yang masih sangat kentara.

"Al jangan dengerin Ayah, ya!?"

"Semua ini benar kan, Bun?" tanya Al. Wajahnya lesu sekali.

"Ya bener lah. Mikir makanya, dasar anak sialan!"

"Ridho!" bentak Ardiana. Ridho pergi tak menanggapi Bundanya.

"Al, Ayah pasti cuma emosi aja tadi" kata Adisty. Satu - satu nya orang selain Ardiana yang sangat menyayangi Al.

"Bahkan setelah ini terbongkar, Bunda, sama Kakak gak mau jujur sama
aku, kan?" ungkap Al. Kakinya melangkah, membawa luka yang baru saja di dapatkannya, luka yang lebih besar dari sebelum - sebelumnya.

*****

Di saat keluarga lain berkumpul di malam hari, itu tidak berlaku di keluarga ini. Rasanya, rumah seperti tak lagi berpenghuni, sepi padahal ramai, ada orang tapi tak seperti ada orang.
Di kegelapan rumah, dengan hujan yang datang menjadi pelengkapnya, Ardiana berjalan menaiki tangga. Sejujurnya, setelah kejadian tadi tak ada lagi ia bertegur sapa. Anak terakhirnya memilih untuk menyendiri tak terima tamu untuk ditemani, bahkan dengan
Bundanya sendiri.

"Al, Bunda masuk ya sayang?" Tak ada sahutan, Ardiana mendekatkan daun telinga ke pintu kamar, juga tak ada suara.

Tangannya memegang knop pintu untuk membuka, ternyata tak dikunci, dan Ardiana bisa masuk dengan leluasa.

"Aaaaaaaa...."

"Al!"

"Alfarizi Putra Azri! Bangun, Nak!"

Ardiana menjerit, hal pertamanya yang dilihat adalah Al yang tergeletak dengan busa dimulutnya. Tangisan menyedihkan menyatu dengan isakan yang keluar. Al sudah tak bernafas lagi, jantungnya sudah tak berdetak lagi. Al membiarkan lukanya menganga hingga menggrogoti hidupnya. Al berpulang meninggalkan dunia nya yang mengkhianatinya. Nasib malang nya berakhir walau memaksakan kehendak hidupnya.

*****

*Breaking News*

Seorang remaja laki - laki ditemukan sudah meregang nyawa di kamarnya sendiri pada hari Rabu kemarin. Dari hasil pemeriksaan terakhir remaja berinisial A tersebut mengalami overdosis akibat obat - obatan yang di konsumsi nya. Remaja tersebut di duga sengaja meminum obat - obatan tersebut untuk membunuh dirinya sendiri akibat keputus asa annya. Belum diketahui pasti penyebab utama remaja tersebut nekat melakukan aksi meregang nyawa ini.

Diketahui korban adalah anak dari pengusaha terkenal di Jakarta. Dan hingga kini pihak keluarga menutup diri dari kejaran media untuk dimintai keterangan mengenai apa yang terjadi.

"Al...."

TAMAT
_________

Tes ombak doang, mwhehehe..
Pendek, soalnya sebenernya ini cerpen yang sempat dipake buat event lomba cerpen gitoo...
Alurnya hampir mirip-mirip kayak biasanya. Nothing special, tapi sayang di draft '-'
Bubayyyyy👋

Meaning Of Life [OneShot]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang