"Keberadaanmu nanti mungkin hanya untuk mengacaukan saja, Raka"
"Rayi Prabu, aku meminta maaf. Tapi, jika diriku tidak ikut andil dalam pertempuran ini, Padjajaran dalam bahaya, Rayi." Sanggah Kian Santang. Matanya yang tertutup sehelai kain itu mengerjap pelan walau tak diketahui orang-orang. Gerakan kepalanya tak menentu, karna ia yang menyandang buta cukup lama.
"Raka pikir, keberadaan Raka sangat dibutuhkan di sini? Tidak Raka, jelas tidak!"
"Walau Raka sudah berlatih setiap hari untuk memulihkan tenaga, dan menambah kemampuan. Itu semua tak ada artinya karna penglihatan Raka yang sudah hilang. Tidak ada gunanya!"
"Aku mengerti." Bibirnya mengatup tak ingin menjawab lagi. Ia sungguh paham akan ucapan Surawisesa yang menjabat sebagai pemangku raja.
"Aku pemangku raja di sini, a---" Belum selesai. Ucapannya dipotong oleh salah satu di sana.
"Ada apa Ibunda?" Ujarnya sopan. Dia sangat menghormati semua wanita di Padjajaran ini, termasuk Subang Larang.
"Mohon maaf jika sudah memotong ucapanmu Nanda Prabu. I-ibunda hanya hendak meminta izin untuk membawa Raka mu Kian Santang meninggalkan balairung ini.. Raka mu tidak ikut adil, maksud Ibunda, Raka mu ini harus beristirahat, lagipula sudah tidak ada sesuatupun yang harus dibicarakan dengannya. Maaf jika Ibunda lancang."
"Baiklah, silahkan Ibunda. Tolong antarkan Raka Kian Santang. Lagipula, aku memang tidak membutuhkannya."
"Putraku Surawisesa!" Tegur Kentring Manik, merasa ucapan putranya sudah diluar batas.
"Tidak apa-apa Ibunda." Senyuman kesatria Padjajaran. Senyuman tak menghadap seseorang yang dibicarakan, namun sangat mengartikan apa yang dia katakan.
•••••
"Aku memutuskan, akan tetap ikut andil dalam peperangan itu Bunda. Entah cara apa nanti, aku akan pikirkan."
"Ibunda tidak mengizinkan mu."
"Bunda.. Walau ujian dari mata ku yang tak bisa melihat ini sangat berat, aku masih ingin mengambil bagian ku dalam membela tanah pasundan, Bunda,"
"Ucapan semuanya, tidak akan membuatku tersinggung. Itu semua adalah penyemangat untuk aku bangkit dari semua ini. Aku tau Ibunda meragukan ku, tapi aku mohon, biarkan aku memilih apa yang ingin aku pilih. InsyaAllah, Allah akan setia menjaga ku di mana pun, percayalah."
"Tapi, Nak---"
"Ibunda, aku tidak apa-apa, percayalah. Ini, hanya tentang mataku yang tak bisa melihat. Aku masih bisa berdiri, menggerakkan tanganku, bertarung, dan semua hal lainnya. Selama nafasku masih belum terhenti, aku wajib menjalankan yang seharusnya aku jalani, Bunda."
"Jika nanti kau pulang tanpa hal yang kau sebutkan tadi? Akan seperti apa, Nak? Bunda tidak mau kehilanganmu."
Seperti serpihan kaca, mata yang indah itu memperlihatkan sorotan kesedihan yang terpancar. Menatap serius Putranya yang butuh nasihat darinya
"Penglihatan adalah hal yang paling berpengaruh dari kehidupan. Kamu melawan, tentunya harus melihat lawan. Nak, seseorang kesatria, seseorang anak raja yang mempunyai kekurangan dalam penglihatan, bukankah menjadi sesuatu kecacatan yang akan sangat diremehkan bagi lawan? Mereka akan meremehkan mu, dan mengincarmu, yang pada akhirnya itu akan menjadi hal buruk bagimu, dan bagi---" Terdiam, Subang Larang sontak terdiam ketika merasa ada sesuatu yang salah. Helaan nafas ia dengar dari sang Putra, dan itu membuatnya sadar jika sudah keterlaluan.
"M-maaf. Bunda minta maaf. Maafkan ucapan Ibunda yang sudah melewati batas, Nak. Bukan, bukan maksud Bunda untuk merendahkanmu, bukan. Ibunda hanya-- hanya, Ibunda sangat khawatir akan kondisimu, Nak. Ibunda, sa--"
KAMU SEDANG MEMBACA
Meaning Of Life [OneShot]
Fanfic-Oneshot Alwi Assegaf- "𝓗𝓲𝓭𝓾𝓹 𝓲𝓽𝓾 𝓼𝓮𝓭𝓮𝓻𝓱𝓪𝓷𝓪, 𝓴𝓲𝓽𝓪 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓶𝓮𝓶𝓫𝓾𝓪𝓽𝓷𝔂𝓪 𝓻𝓾𝓶𝓲𝓽." "𝓣𝓮𝓻𝓴𝓪𝓭𝓪𝓷𝓰 𝓱𝓪𝓵-𝓱𝓪𝓵 𝓴𝓮𝓬𝓲𝓵 𝓵𝓪𝓱 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓶𝓮𝓶𝓫𝓾𝓪𝓽 𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹 𝓵𝓪𝔂𝓪𝓴 𝓭𝓲𝓳𝓪𝓵𝓪𝓷𝓲." Catatan: - Jika me...