01

10 5 3
                                    

Break My Heart Again - Finneas O'Connell

↻ ◁ II ▷ ↺

Rindu membiarkan rambut bobnya tertiup angin yang lumayan kencang siang ini. Langit telah menggelap entah sejak berapa menit yang lalu. Ia tidak peduli. Bahkan jika hujan membasahinya pun, ia tidak akan berupaya untuk kabur menyelamatkan diri. Tidak sebelum pemuda itu datang membawanya berlindung. Namun sudah cukup lama, yang ditunggunya masih belum kunjung datang. Membuat Rindu merasakan sesak di dadanya. Kesalahan yang sama, diulangi untuk kesekian kali. Sehingga mati-matian gadis itu menahan air matanya sedari tadi.

"Mau sampe kapan, sih? Gue banyak urusan, nih. Lo tuh ngerepotin gue mulu, Rin." Alvin menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi taman berwarna putih. Di beberapa bagian, catnya telah mengelupas dan berkarat. Sangat disayangkan, pikir Alvin. Tempat itu akan jauh lebih bagus lagi jika kursinya tidak berkarat.

"Diem, deh. Lo kan udah janji, dua belas tahun lalu lo janji mau nemenin dan bantuin gue kapan pun. Lagian lo ada urusan apa, sih? Nge-band doang, kan? Temen-temen lo aja masih belom balik. Gak usah banyak alesan, Dek." Rindu menolak untuk duduk. Gadis itu sepertinya memang lebih suka menunggu sembari mondar-mandir di tempat itu. Seolah membawa Alvin mendekat ke perasaan jenuh dan kesal.

"Dak dek dak dek. Sejak kapan gue jadi adek lo?" Alvin melayangkan protes yang sama selama beberapa tahun terakhir. Tidak terima hanya dianggap adik oleh Rindu.

"Mama bilang gue harus nganggep lo sebagai adek sendiri. Bunda lo juga setuju. Apa lo lupa, Vin?" Mengganggu Alvin rupanya memang sedikit berhasil membuat Rindu tidak menangis. Terbukti, air mata itu tidak lagi menggenang di pelupuk matanya.

"Gue ogah jadi adek lo. Maunya lebih dari adek." Alvin memilih sibuk mengabsen pohon dan tanaman di sana. Sesekali pula ia memandang dedaunan kering di atas rumput yang menari ditiup angin. Memperhatikan Rindu hanya membuat kesabarannya semakin menipis. Sedangkan kegiatan tanpa keuntungan jauh lebih menenangkannya.

Kedua alis Rindu nyaris menyatu. "Apaan? Adek level dua?"

Entah gadis itu benar-benar tidak mengerti atau hanya berpura-pura. Jika saja Rindu tidak berpura-pura, Alvin tidak akan ragu untuk memberinya penghargaan sebagai manusia paling tidak peka di muka bumi.

"Terserah. Males ngomong sama orang yang tolol karena cinta."

"Lo ngerti apa sih soal cinta? Bahkan ngeliat lo pacaran aja gak pernah. Jadi lo cukup diem dan jangan komentar apa-apa. Karena lo gak tahu rasanya jatuh cinta."

Kali ini Alvin benar-benar diam. Gadis itu terlalu mahir membuatnya bisu seketika.

Hanya mereka yang tersisa di taman. Orang-orang yang semula berlalu lalang atau sekadar duduk di sana telah pergi sejak awan hitam  menghiasi langit.

Alvin mencintai hujan. Sejuk dan menenangkan. Meski Rindu terkadang takut dengan suara gemuruh dari atas sana. Terbukti gadis itu hanya berupaya menyembunyikan ketakutannya saat ini. Hanya demi Sena. Tanpa mempedulikan dirinya sendiri.

Benar saja, hujan deras menjatuhi mereka tidak lama kemudian. Alvin menganggap Rindu bodoh. Namun, ia pun sebenarnya tidak kalah bodoh. Hanya saja, tidak banyak yang menyadarinya.

Rindu menangis, sejadi-jadinya bersamaan dengan butir-butir hujan yang menimpanya hingga kuyup. Sena tidak datang. Laki-laki itu membiarkannya menunggu terlalu lama. Bahkan rasanya seperti selamanya.

Alvin menarik tangan Rindu, membawa gadis itu pergi menjauh. Namun, Rindu menahan langkahnya. Sehingga Alvin mulai muak dengan drama bodoh ini. Pasalnya Rindu melakukan sesuatu yang sia-sia. Lagipula Sena tidak akan peduli dan Rindu masih saja mencintai laki-laki itu.

"Harusnya dia dateng, Vin. Harusnya Sena muncul sekarang kalo dia emang sayang sama gue. Tapi kenapa hal sepele kayak gini aja gak bisa disanggupin sama dia. Apa Sena lebih sayang sama Aurel dibanding gue?"

"Bisa jadi, iya." Alvin tidak lagi memikirkan perasaan Rindu jika ia memberikan jawaban yang terlalu jujur. Rindu harus disadarkan secepatnya. Meski terkadang Alvin harus bertingkah kejam.

"Sena bilang mau jelasin semuanya secara langsung ke gue. Gue udah janji bakal nerima penjelasannya. Walau gue udah liat semuanya. Tapi kenapa Sena gak dateng, Vin?" Tangis Rindu semakin menjadi-jadi. Alvin masih menggenggam tangan gadis itu. Membiarkan hujan membasahi mereka. Diam-diam Alvin berharap Rindu menyadari, bahwa ia akan selalu ada ketika Rindu berada di posisi terbawah hidupnya.

"Karena dia gak sesayang itu sama lo, Rindu. Lo harus buka mata lo. Lo mau sesakit apa lagi demi Sena? Bahkan sampe ujan-ujanan gini. Kalo lo sakit, gimana?" Alvin berupaya bicara lebih pelan. Tanpa khawatir suaranya kalah oleh hujan. Ia hanya lelah, bicara dengan nada seperti apapun rasanya tidak pernah cukup untuk menyadarkan gadis itu.

"Mungkin ... Sena bakal dateng kalo tau gue sakit."

20 Juli 2022

Seikhlas Awan kepada Hujan yang Mencintai BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang