I. Awal : Bagian 3 - Ashrad

5 0 0
                                    

Ashrad, Yorkshire, Inggris. 23 Mei 1950

"Saya ingin pulang." 

Damien dan Mintje memperhatikan saya, sosis-sosis merah dan beberapa sayur mayur masih ada yang bertengger di gigi-gigi mereka.

"Kenapa? Apakah karena black pudding?" Mintje terlihat agak gusar, matanya yang 'hijau' (biasanya matanya memerah di pagi hari. Entah karena sigaret, alkohol atau tidurnya yang tidak selama manusia pada umumnya) mendelik-delik di belakang kacamatanya yang tebal. Celemeknya penuh dengan cat, dan noda-noda yang hanya Tuhan yang tahu apa.

"Lho? Kenapa heran? Kamu ikut juga kok."

"Bukan itu masalahnya Ash."

"Bukannya kamu juga salah satu orang gila yang malah melaju ke arah Jawa Tengah dan bukannya ke Batavia?"

"Tidak, aku hanya heran saja. Tidak biasanya kamu melakukan hal dengan terburu-buru seperti ini."

"Mintje, kita baru bertatap muka langsung selama belum lebih dari dua minggu."

"Tapi itu sudah hampir setengah bulan, ya kan? Eike kan cukup pintar untuk mengenalmu hanya dalam waktu yang singkat."

"Di mana waktu yang singkat itu adalah kau melukiskan saya dengan baju berlapis-lapis yang sangat panas. Oh ya, hanya dengan merubah dua minggu menjadi setengah bulan tidak akan merubah fakta bahwa itu bukanlah waktu yang panjang."

Damien tergelak, dia hampir saja menyemburkan english tea-nya. Sebuah nama yang 'berkelas' untuk teh susu, walaupun secara pribadi saya tidak terlalu setuju ketika orang-orang di sini menyebutnya dengan teh susu. Frase itu seperti menggambarkan bahwa english tea di sini adalah hasil dari mencampurkan teh dan susu dengan rasio sebagaimana teh susu dibuat. Damien terlalu menyukai susu sehingga cairan di dalam cangkirnya lebih layak untuk disebut susu berperisa teh. 

"Haha, sudah kubilang kan adikku akan melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan model yang sempurna. Maafkanlah aku yang telah menarikmu ke dalam siksaan ini."

"Saya serius Damien. Saya tidak nyaman jauh dari sana selama ini. Sudah berapa lama kita membiarkan telegram dari nenekku? Ayolah."

"Saya juga serius." Dengan senyum kecilnya, (yang agak mengesalkan untuk dilihat sebenarnya apabila situasinya bukanlah makan pagi bersama seperti ini) Damien kembali menyeruput susu berperisa tehnya.

"Ya sudah, ya sudah. Memang seharusnya kita kembali kan?" Mintje entah kenapa mendadak terlihat biasa-biasa saja. 

"Aku yang akan kirim surat ke Pa dan Ma, mungkin nanti mereka akan menghubungi siapa sajalah untuk menjaga ternak. Aku tidak terlalu peduli. Siapkanlah kopor-kopormu kameraad! Kita akan kembali ke Indonesie!"

"Kaartjesnya?" 

Mintje dengan semangatnya menjawab dengan mata berbinar. 

"Jangan gusar! Mintje ini kan sudah berjanji akan bertanggung jawab atas segala akomodasi modelku!"

"Tapi saya kan bukan modelmu, masukkah aku dalam hitungan?" Damien berkomentar di sela-sela kunyahan rotinya (secara teknis Damien telah menjadi model percobaan lukisan Mintje selama beberapa tahun, terakhir kali Damien menjadi model sebagai seorang pelaut. Percayalah, dia sangat tidak menyukai kostum itu. Dia bahkan berkata bahwa dia dapat menulis tiga jilid tesis tentang betapa bencinya ia akan kostum itu). 

"Broer, mohon maaf. Kontrak kerja ini tidak ada di antara kita. Tetapi, tenanglah. Ingat Broer, laut dan samudra tidaklah sejauh yang kau bayangkan."

Tenggorokan yang baru saja naik turun menandaskan susu teh itu mendadak bergetar kembali. "Kau menyuruhku berenang ke Indonesie? Dari sini?"

Mintje mengangguk bangga. Sekrup anak ini sepertinya memang agak longgar.

Damien terdiam sejenak, matanya terlihat prihatin. 

"Kau memang gila."

De Kraai is Een DuifjeWhere stories live. Discover now