I. Awal : Bagian 1 - Ashrad

59 4 0
                                    

Ashrad, Rotterdam, Netherland. 12 Mei 1950

Suara kapal masih berisik, begitu pun orang-orang. Tidak setiap hari pelabuhan ini begitu ramai, begitu sempit. Asap kapal membumbung di bawah awan mendung, semua warna menjadi teduh dan kelabu. Saya berjalan menjauh dari kapal, memegang erat-erat mantel hitam yang berusaha memeluk tubuh saya, ditambah dengan tempelan tatapan orang-orang yang akhir-akhir ini menjadi semakin sering. Sebegitu asingkah bagi mereka melihat orang Indonesie? Bukan asing barangkali, benci lebih tepatnya. Siapa yang tidak benci ketika angsa emas kesayangannya berbalik dan malah pernah membantu lawannya? Oh betapa serunya perang dunia bagi orang-orang ini, bagi orang-orangku.

Mendadak jenuh menyentak badanku, saya melirik sekitar dan langsung saya datangi sebuah bangku kayu yang mulai terlihat agak kelabu, jauh dari keramaian para penyambut keluarga di dekat kapal. Payung yang sedari tadi saya pegang erat di tangan (yang membuat saya terlihat setu dekade lebih tua dari sebenarnya) saya istirahatkan di samping saya, menyender di paha saya. Sebuah surat kabar yang dari tadi terapit manis di tangan kanan saya (hampir terlupakan, untungnya tidak) mulai saya buka lipatan-lipatannya dan kuamati kalimat demi kalimat. Setidaknya huruf-huruf cetak di sini tidak berbentuk bola-bola mata manusia, jauh lebih nyaman daripada memperhatikan keadaan sekitar.

Akhir-akhir ini surat-surat kabar Nederland yang bertebaran di depan kantoor, sekolah-sekolah dan bahkan bioscoop, terasa stagnan. Semuanya mulai ramai dengan hal-hal menyenangkan (tentunya propaganda besar-besaran itu menyenangkan, setidaknya untuk para nasionalis.) seperti kekalahan para 'fasis' yang terdengar agak klasik bagiku sekarang (padahal belum ada penandatanganan apapun, sombong sekali rasanya. Jangan salah paham, saya tidak berharap mereka bisa melakukan invasi lagi, tapi sampai penandatanganan terjadi, mana tahu apa yang terjadi nanti? Iya kan?), tapi toh semua keadaan dunia ini sebenarnya sudah tertebak, jadi apa pedulinya saya? Mungkin saya memang harus peduli, mengingat bapak dan ibuk masih terjebak di kekalutan di pulau Jawa sana, semoga saja mereka tidak apa-apa.

Langit tidak merestui hubungan singkat saya dengan surat kabar ini, tetesan-tetesan hujan mulai jatuh. Huruf-huruf yang tercetak jelas tadi mulai dihantui titik-titik basah, saya kecewa. Saya melipatnya dengan hati-hati dan memasukkannya ke dalam tas. Memang tidak baik untuk menghindari dunia nyata dan tatapan ganjil orang-orang hanya dengan beberapa lembar kertas. Saya harap saja kelak nanti akan ada benda lain yang bisa melakukannya lebih baik dari surat kabar ini, semoga saja tahan air. Tergesa-gesa saya mulai memekarkan payung saya menyampirkannya agak serong di pundak, cukup melindungi bagian atas tubuh. Namun, bagaikan protes akan terusiknya jam istirahatnya, payung ini mulai menari-nari kesana kemari terbawa terpaan angin. Kepala saya yang seharusnya terlindungi akan hujan, tetap saja menjadi basah akhirnya.

Ketika terpaan angin mereda, kecewa saya berganda, payung yang dari tadi terlalu dekat dengan kepala saya ini ternyata sangat tidak ramah rambut. Kawat-kawat payung ini begitu mudah memagut rambut-rambut saya. Ketidaklurusan rambut ini pun sangat tidak membantu di keadaan seperti ini. Saya menahan sakit sedikit (dan sedikit malu karena bertindak layaknya manusia yang tidak pernah memegang payung) akan tercabutnya beberapa rambut yang tersangkut yang jatuh menjadi korban dari kekejaman payung ini.

Sudahlah, satu kepala rambut ini tercabut pun, kan tidak akan sesakit melompat ke laut (yang sebetulnya kadang saya pikirkan). Tidak begitu buruk.

"Goedemorgen! Butuh bantuan apa mijnheer?" 

Saya terdiam, refleks pada diri saya tidak begitu cepat membaca pemilik bola mata hijau di depan saya. Otak saya agak melamban, apa karena terlalu banyak menghirup asap dari pelabuhan tadi? 

"Hah, lucu sekali, apakah saya terlihat sekacau itu?"

"Pernah terlihat lebih buruk."

"Saya kira itu sudah menjadi ciri khas saya."

De Kraai is Een DuifjeWhere stories live. Discover now