I. Awal : Bagian 4 - Damien

4 0 0
                                    

Damien, Surabaya, Indonesia. 02 Juni 1950

"Apa kabarmu chéf de cuisine?


Dengan sapu di tangan, saapanku menyambut sang pria yang tengah sibuk di dapur dengan adikku, membuat sarapan untuk kami bertiga. Jangan salahkan aku karena aku tidak ikut memasak. Masakanku adalah kutukan dari Tuhan. Percayalah. 

Awalnya Mintje dan Ashrad berkata bahwa ia akan memasak nasi dan beberapa lauk, namun mengingat keadaan yang tidak terlalu baik dan entah akan membaik atau memburuk ke depannya, akhirnya diputuskan bahwa nasi goreng akan menjadi sarapan kami (dan mungkin untuk makan siang dan makan malam juga) hari ini. Ashrad mengambil alih dapur mengingat ceritaku tentang Mintje yang suka memasak makanan untuk satu batalyon apabila tidak diperingati. Katanya, ia selalu ingat pesan Ma untuk selalu membuat makanan lebih, jaga-jaga apabila musim dingin datang. 

Padahal pesan itu Ma sampaikan pada saat Duitsland masih menjajah Nederland. Mintje kadang lupa bahwa Hongerwinter tidak akan terjadi apabila tidak ada perang. Lagipula, Heiliges Römisches Reich bukan lagi Duitsland yang sekuat dahulu. Perlu khawatir apa lagi?

Ashrad berbalik sehingga kedua bola mata kecoklatan miliknya terpampang menuju ke arahku, antusias.

"Sangat baik. Terutama karena nasi goreng ini akan segera matang."

Keluarga Ashrad dengan begitu baik hatinya memberikan kami rumah untuk kami tinggali , disampaikan lewat telegram yang dibawa-bawa Ashrad di dompetnya. 


Kecil, namun nyaman dan sudah terisi penuh dengan bahan makanan. Walaupun rumah ini agak berdebu, tapi air dan listriknya masih tersambung dengan baik. Entah bagaimana. Betsy dan suaminya dulu sering sekali mengeluh, mereka mengatakan bahwa kadang listrik dan air di rumahnya suka mati dan entah kenapa para petugas kantor desa tidak menyambut mereka dengan baik tentang masalah itu.) 

Hebatnya lagi, semua bahan makanan di sini tersimpan rapi di lantai bawah tanah. Jarang sekali aku melihat rumah dengan lantai di bawah tanah di Indonesie. 

Sayangnya, kami tidak menemukan Ayah dan Ibu Ashrad di rumah ini ketika kami datang pekan lalu. Ashrad selalu menceritakan bahwa mereka berdua selalu sibuk bepergian, biasanya tanpa Ashrad. Menghidupkan kembali masa-masa ketika mereka masih muda dahulu kata mereka (Ashrad selalu menceritakan bagian ini dengan memutar bola matanya, jijik sepertinya. Menurutku, apa yang dikatakan orang tuanya itu lucu dan manis). 

Aku tidak terlalu mengerti tentang Ayah dan Ibu Ashrad, tapi sepertinya mereka berdua terlalu memaksa Ashrad untuk mandiri. Bahkan ketika Ashrad masih berkuliah di Rotterdam, tak sekali pun Ayah dan Ibu Ashrad mengunjunginya, bahkan sampai sekarang aku belum tahu nama mereka. Ashrad selalu menyebut mereka sebagai 'Bapak dan Ibuk'. Entahlah.

"Ash, menurutmu kita harus masak berapa?" Mintje, masih dengan rambut hitamnya yang diikat, memperlihatkan lima telur di tangannya, tampaknya mencoba untuk mengontrol hasratnya untuk memasak satu krat telur.

"Kamu, Dam, dan Saya. Tiga saja cukup." Ashrad menjawab dan mengambil dua buah telur dari tangan Mintje dan mengembalikannya ke dalam krat. 

"Oh ya Dam" dia berbalik ke arahku. Entah kenapa bau nasi goreng di dapur ini membuatku melupakan tugas menyapu. 

"Bisa kah kamu membantu saya? Tolong ambilkan piring-piring."

Aku mengambil piring-piring yang berada dari dalam lemari piring di rak teratas. Biasanya aku akan mengejak Ash mengenai ketidakmampuannya dalam meraih piring ini. Tapi aku sedang tidak terlalu berniat untuk bercanda sepagi ini "Ini."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 20, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

De Kraai is Een DuifjeWhere stories live. Discover now