Bab 1 Kedatangan Seorang Pendosa

17 9 9
                                    

Malam yang tenang di sekitar pondok Pesantren Al-Fatah Madinatul Munawaroh. Seorang pria muda terengah-engah di bawah kerlipnya lampu malam. Tak kuat menahan rasa sakit di dada, Ia pun menopangkan diri di tiang lampu, mengatur nafas dalam, lalu memegangi dadanya. Terlihat jelas bahwa wajah pria muda itu sedang khawatir. Takut bila ketiga pemuda yang tengah mengejarnya akan menangkapnya ditempat itu. Terlebih lagi, lokasi pelariannya hanya dihuni beberapa rumah yang jaraknya agak berjauhan.

Miris memang, nasib pemuda yang hampir mati karena dikejar, malah mendapati lokasi yang jauh dari keramaian. Apalagi jam telah menunjukan pukul 11 malam. Tak ada satupun yang lewat, kecuali yang terdengar hanyalah suara jangkrik menggema.

Pelan ia beranjak, mencari tempat yang aman untuk bersembunyi. Didapatinya sebuah masjid dengan pintu yang terbuka. Tanpa pikir panjang, ia langsung memasuki masjid itu dengan langkah tergontai.

Pemuda itu terhenti sesaat di depan pintu masjid pesantren. Ia sempat melihat seorang kiyai mengenakan jubah dan sorban putih, yang tengah duduk bersila melantunkan zikrullah dengan penuh penghayatan.

Kiyai itu tak lain adalah pemilik pondok pesantren di daerah itu. Santri dan para warga memanggilnya kiyai Jafar. Nama lengkapnya adalah Abdul Jafar As-Sidiq.

Lantunan merdu yang keluar dari bibir sang Kiyai membuat siapa saja terlena, begitu pula dengan pemuda itu. Ia sempat menikmati merdunya tahmid yang keluar dari rongga mulut sang Kiyai. Namun, ia menepisnya jauh-jauh dan lebih memilih menghiraukan sang Kiyai.

Pemuda itupun akhirnya terburu-buru bersembunyi di balik mimbar masjid. Sebab ketiga pemuda yang tengah mengejarnya, kini tak jauh dari dirinya. Sekitar 4 meter berdiri di bawah remangnya lampu milik rumah warga.

Mereka bertiga sedang mencari-cari sosok pemuda itu, namun mereka tidak mendapatinya sama sekali. Tempat yang mereka curigai hanyalah masjid pesantren itu.

Tidak berselang lama, ketiga pemuda yang tidak di ketahui nama dan asal-usulnya memasuki masjid pesantren tersebut, seraya bertanya pada kiyai Jafar yang tengah khusyu berdzikir.

"Permisi Kiyai. Apa Kiyai melihat pemuda yang masuk ke dalam masjid ini?" tanya salah satu pemuda tersebut.

"Sejak tadi saya hanya berdiam diri di dalam masjid ini, tidak ada seorang pun yang masuk ke dalam," kilah kiyai Jafar.

Usai medengarkan jawaban dari sang kiyai. Akhirnya, ketiga pemuda tersebut langsung berpamitan dengan perasaan yang ragu, dan meninggalkan kiyai Jafar tanpa menoleh.

Sebenarnya, kiyai Jafar sudah menyadari sosok pemuda yang tengah bersembunyi di balik mimbar masjid pesantren. Namun, kiyai Jafar berkilah ketika ditanya. Entah apa maksud kiyai Jafar menyembunyikan pemuda tersebut, yang pasti kiyai Jafar yang lebih tau.

"Keluarlah, Nak. Tidak perlu bersembunyi lagi," pinta kiyai Jafar.

Mendengar seruan dari kiyai Jafar, pemuda tersebut langsung keluar dari tempat persembunyianya dan hendak meninggalkan kiyai Jafar.

"Nak, tunggu!" cegah kiyai Jafar. "Tempat ini adalah tempat ibadah, bukan tempat untuk bersembunyi. Jika masih ada perasaan takut, bertobatlah, Nak."

Pemuda itu pun menoleh ke sumber suara dan menghampirinya.

Dengan perasaan bimbang, ia pun membuka suara. "Kiyai, namaku adalah Muhammad Akhtar. Aku kesini karena ingin bersembunyi menghindari kejaran dari ketiga pemuda tadi. Aku benar-benar takut bila mereka mendapatiku, sedang aku benar-benar dalam keadaan yang sangat kacau."

"Hmm, duduklah mendekatiku, Nak. Ceritakan apa masalahmu," ucap kiyai Jafar sambil menepuk-nepuk tanganya di lantai.

"Kiyai, selama ini aku berhutang pada mereka dan aku tidak sanggup membayarnya. Karena ketidaksanggupanku itu aku melarikan diri, tapi malah didapati oleh mereka. Selain itu, aku sering bermaksiat. Aku benar-benar seorang pendosa, Kiyai," keluh Akhtar pada kiyai sembari menahan sendunya.

Kiyai Jafar mengindahkan curhatan hati dari Akhtar, dan menyikapinya dengan raut wajah yang serius.

"Kiyai, aku sudah capek hidup dalam naungan dosa. Aku tidak memiliki tempat lagi untuk pulang. Aku bingung dengan kelakuanku sendiri. Kiyai, apakah Allah masih mengampuni dosa-dosaku?" tanya Akhtar penuh harapan.

"Tentu saja, Nak. Allah SWT. adalah Tuhan yang Maha Pengampun. Selain itu, Allah juga menanti orang-orang yang ingin bertaubat. Cinta Allah adalah cinta yang tidak terbatas. Hakikat dan keberadaanya tidak bisa disamakan oleh kasih sayang siapa pun. Nak, kau adalah makhluk ciptaanya, sudah sepatutnya kasih sayang itu ada padamu," pesan kiyai Jafar dengan cermat.

Setelah mendengarkan penuturan dari sang Kiyai. Akhtar pun merenung di sisi kiyai Jafar, sambil menilik kesalahan yang selama ini ia lakukan.

"Nak, walaupun engkau memiliki dosa setinggi gunung, Allah akan tetap mengampunimu. Sungguh Maha luas pengampunan Allah terhadap hambanya.

Ketahuilah, Nak. Sesungguhnya surga dan neraka Allah ciptakan untuk seorang pendosa. Namun yang membedakan, surga Allah ciptakan untuk seorang pendosa yang mau bertaubat. Sedangkan neraka, Allah ciptakan untuk pendosa yang bangga terhadap dosanya tanpa mau bertaubat," papar kiyai Jafar.

Akhtar terdiam sejenak usai mendengarkan penjelasan dari kiyai Jafar. Ia sedang memikirkan kesalahannya selama ini. Ia berpikir, ada baiknya jika ia merubah dirinya dimulai dari sekarang.

"Kiyai, izinkan aku untuk memperbaiki diri dan belajar kepada Kiyai. Aku ingin bertaubat, sudah sejak lama aku menjalani kehidupan seperti ini. Aku ingin kembali ke jalan Tuhan," ucap Akhtar, berharap agar permohonannya dapat diterima oleh kiyai Jafar.

Mendengar pengakuan Akhtar yang tulus tersebut, kiyai Jafar mengucapkan syukur alhamdulliah pada Akhtar, lalu mendoakannya.

Setelah obrolan panjang antara mereka berdua. Kiyai Jafar dengan senang hati menawarkan Akhtar untuk tinggal menetap di pesantren miliknya.

***

Keesokan harinya, Akhtar mulai membiasakan diri di pesantren dengan awal yang baru. Perlahan ia membuka dirinya dan mulai bergaul dengan santri yang lain. Akhtar juga sering kali mengobrol dengan santri remaja dan menanyakan beberapa perihal mengenai agama.

Demi memperdalam ilmu agama, Akhtar mencoba mengobrol dengan salah satu santri di pesantren tersebut.

Seperti saat ini, di bawah pohon mahoni yang rindang, sayup-sayup angin bertiup. Akhtar sedang berbincang dengan seorang santri bernama Ali Abyaz Syabani. Di sela obrolan itu, lewat seorang gadis bercadar hitam mendekap Al-qur'an di dadanya. Sorot mata gadis itu tertunduk kala melihat Akhtar dan Ali berteduh di bawah pohon mahoni.

Akhtar pun terkesiap dan penasaran melihat gadis tersebut. Lalu, ia bertanya pada Ali yang ada di sampingnya.

"Dek, siapa gadis bercadar itu?" tanya Akhtar berbisik seraya menyenggol pelan lengan Ali.

"Ooo, dia itu Kak Saidah, anak dari kiai Jafar." balas Ali yang ikut berbisik balik.

Mendengar perkataan Ali tersebut, Akhtar hanya mengangguk pelan.

"Mata yang cantik," batin Akhtar kagum.

.

.

~Di balik cadarmu. Aku ingin memahamimu, Saidah~

.

.

Maaf, jika ada kesalahan, kekeliruan, dan kecatatan dalam isi cerita ini. Sebab saya orang awam terhadap agama😇

Salam hangat dari Cahaya Bintang🌟

Di Balik Cadar SaidahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang