Gitta
Kedai ini bernama Oost. Dinamakan demikian-mungkin-karena letaknya yang menghadap ke arah Timur. Entahlah, aku sendiri tidak pernah menanyakan sejarah nama itu pada pemiliknya. Hanya menerka-nerka.
Beberapa tahun silam, kedai ini memikat pesonaku. Dengan sebuah map berisi form-form interview di tanganku dan kaki yang mulai kesemutan memakai heels setinggi 6cm, aku berjalan terseok-seok ke arahnya. Berhenti tepat di depan kedai vintage yang mengusung tema Belanda ini. Sesaat sebelum melangkah masuk, aku melepas kedua heels-ku lalu menentengnya ke dalam.
Suasana di dalam begitu hangat. Untuk ukuran wanita kantoran sepertiku yang baru saja berkali-kali ditolak lamarannya, this place is muuuuch way heaven.
Itulah bagaimana aku akhirnya menemukan tempat kerjaku. Setelah memesan secangkir kopi hitam panas dan menghindu aromanya berkali-kali sebelum menyesapnya, aku membaca sebentuk tulisan di atas gedung pencakar langit di depan kedai ini. Sebuah kantor pusat penyiaran berita.
Pada akhirnya, semua membentuk sebuah benang merah di hari itu. Benang merah yang membuatku berada di sini sekarang, setiap satu jam sebelum siaran, dan beberapa menit setelahnya. Dari yang hanya menyiapkan bahan-bahan untuk siaran, sampai membeli segelas regular latte dan menghabiskan berlembar-lembar novel sepanjang hari.
What I really don't know, aku lebih nyaman untuk menyiapkan materi siaran di kedai ini ketimbang harus menyiapkannya di ruang kerjaku. Mungkin, aroma roti bercampur coklat panas di ruangan ini mampu mangatasi nervous-kambuhanku sebelum siaran. Mungkin juga karena arsitektur bangunannya selalu membawaku kembali pada novel-novel yang bersetting Belanda. Lampu-lampu kuning yang menerangi sudut-sudut tertentu, dengan dinding bercat putih tulang yang terkesan menguning dimakan waktu, and that gigantic-torn-out Dutch's flag hanging over there.
Yang lebih asyik lagi, kedai ini memiliki satu rak buku sederhana, yang isinya selalu diganti dengan beraneka ragam buku yang tidak bisa dibilang baru. Tapi justru malah menarik. Kau tahu, membaca buku lama seperti berjalan pada dunia ketika kau belum sempat menjajakinya di waktu itu.
Lucunya, kedai ini tidak memiliki banyak pelanggan sepertiku yang menghabiskan berjam-jam nongkrong disana, dengan sebuah bill yang meminta untuk dibayar. Orang-orang lebih suka mengantre di depan kasir, memesan, lalu membawanya keluar dari sana. Itulah kenapa tempat ini nggak terlalu crowded dan selalu ada tempat buatku.
Seperti pagi ini, begitu aku sampai, aku langsung dapat tempat. Di suatu tempat yang menghadap sebuah pajangan bendera Belanda yang sudah usang. One of my favourite cornor. Dengan satu tangan memegang sandwich tuna dan satu lagi membolak-balikkan halaman novel di pangkuan.
Aku menyadari itu, bahwa sekali saja aku menyelam pada sebuah novel, aku akan benar-benar menyelam tanpa tahu telah meninggalkan permukaan berjuta-juta mil.
THANKS FOR THE MEMORIES - CECELIA AHERN
Buku ini menyadarkanku akan beberapa hal tentang konsep takdir. Bagaimana dua orang pernah bersama dalam suatu keramaian sebelumnya. Ketika bus yang ditumpangi Justin melintasi tikungan sementara Joyce dan ayahnya sedang berada di jalan yang sama. bagaimana hal serumit pendonoran darah tiba-tiba bisa bertemu di tempat cukur rambut, satu sama lain merasa pernah mengenal.
Aku berhenti membaca, melirik jam di tanganku dan segera berkemas, meninggalkan sebekas bercak kopi di atas meja.
**
"Pagi tadi, aku membaca sebuah novel lagi, ditemani secangkir kopi panas dan dua slice sandwich tuna, aku tenggelam jauh ke dalam cerita. Sampai-sampai, mungkin jika beberapa menit lalu aku tidak datang, kau tidak akan mendengarkanku membacakan resensi novel disini, dan bosku Alex akan memecatku, atau paling tidak mengurangi jam siaran."