Gitta
"Bagaimana dulu cara ayah bertemu dengan ibu?"
Mungkin, pertanyaan itu sudah terlalu klise untuk dilontarkan saat ini. Buatku dan juga buat Ayah. Aku dapat melihatnya, dari kilas balik di mata Ayah ketika tiba-tiba aku menodongnya dengan sebuah pertanyaan yang baginya sudah tidak pantas lagi untuk dipertanyakan. Aku dan Ayah sama-sama tahu itu.
Bertahun-tahun silam, ketika aku duduk di bangku SMA, Ibu dan Ayahku bercerai. Mereka berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing begitu saja. Ayah menetap di Jakarta sebagai guru musik, dan Ibu mengurus kepindahannya ke kampung halaman di Bandung, sebagai spesialis dokter bedah. Ketika itu, aku memilih untuk tetap bersama Ayah di Jakarta, sebab tak ingin pisah dari teman-temanku. Menghabiskan waktu hanya berdua, mencoba untuk saling menghangatkan diri di rumah yang terasa lebih dingin tanpa ada ibu. Aku tahu Ayah tak baik-baik saja, sehingga bertahun-tahun berlalu, aku tak pernah menanyakan hal-hal serupa. Aku tahu, Ibu pun tak baik-baik saja. Jadi aku jarang pula mengajak Ibu untuk kembali ke Jakarta, menginjak lagi jalan-jalan berlubang yang pernah ia injak.
Dan aku juga tidak baik-baik saja. Andai mereka tahu itu.
"Ibumu belum pernah menceriterakannya?" Ayah menghela napas setelah melepas kacamata besar yang menggantung di kedua telinganya, berpaling dari not-not balok di hadapannya. Aku menggeleng.
"Ayah tidak lupa, kan?"
"Tentu tidak." Katanya dengan kerutan-kerutan letih di beberapa titik di wajahnya. Aku tahu, Ayah bukan lupa, hanya saja enggan. Aku tahu Ibu pun begitu. Bahwa sebenarnya tidak sulit mengorek luka itu, tapi menutupnya?
Ayah kemudian mulai bercerita kepadaku tentang pertemuannya dengan ibu di sebuah klinik kesehatan. Pertemuan yang mulanya hanyalah sebuah reuni kecil, kemudian berubah menjadi perjalanan cinta. Keduanya ternyata merupakan lulusan SMU yang sama, tahun yang sama. Merasa saling dipertemukan oleh takdir, keduanya pun akhirnya saling jatuh cinta.
Jadi itu, permainan takdir.
"Ayah mencintainya?"
Tak perlu ditanya lagi, ya. Malam-malam dari balik piano tuanya, aku bisa lihat air mata itu. Mengalir seirama dengan permainan pianonya. Tapi, aku memilih untuk tetap kembali tidur. Aku mengerti jika Ayah sangat membutuhkan pelukan itu. Usapan-usapan kecil untuknya mungkin. Namun, tidak hanya Ayah yang hancur, aku pun disini merasa hancur. Sama-sama hancur.
Aku tahu Ayah masih mencoba menghubungi Ibu. Dari suara tuts-tuts telepon malam-malam yang terdengar sampai kamarku, dan beberapa surat yang terbalas sebagian. Apa yang membuat mereka berpisah? Mengapa keduanya sama-sama mencoba untuk pergi, sementara cinta itu masih ada?
"Memang dalam beberapa hal, cinta saja tidak cukup, Gitta."
"Nggak cukup, Yah?" Aku mengulang pernyataan barusan.
Apa Ayah nggak pernah, dulu sekali, ketika mencintai Ibu tiba-tiba saja ketakutan akan kehilangan Ibu? Takut bila nanti akhirnya bukan Ayah yang mengikrarkan janji sehidup semati duluan? Apa Ayah nggak pernah, merasa ketakutan seperti itu, hingga membayangkan apa jadinya Ayah tanpa Ibu?
"Pernah, Gitt. Itulah cinta. Perasaanmu tengah dipermainkan antara keinginan untuk memiliki, atau keinginan untuk membahagiakan."
Pada akhirnya, kita hanya dapat memilih satu.
"Dan Ayah memilih untuk membahagiakan Ibumu." Kata Ayah dengan matanya yang berkaca-kaca.
Aku mulai tidak tahan melihatnya seperti ini. Bercerita dengan goresan-goresan yang ikut menggoreskan hal yang sama padaku. Apa cinta memang serumit ini? Apa cinta memang tidak harus berdefinisi sama? Apa meninggalkan memanglah bentuk lain dari cinta?