#5

56 4 0
                                    

Gitta

Sebuah pesan masuk mulanya benar-benar mengganggu tidur siangku. Namun kali ini aku memutuskan untuk terus terpejam dan mengabaikannya. Sebetulnya aku jarang sekali tidur siang. Kalau tidak karena hidungku yang tersumbat ini tak henti mengeluarkan cairan bening, mungkin aku sudah pergi ke toko buku sekarang dan membeli buku terbaru dari ANDREA HIRATA.

Virus ini kudapatkan dari Andalas café (kurasa penilaianku terhadap kafe itu semakin buruk saja). Gara-gara beberapa waktu lalu aku dan Alex tak sengaja bertemu kawan lamanya yang sedang terserang flu, alhasil aku harus rela merasakan panas di tenggorokan sepanjang hari dan berat di kepala tiap lupa meminum obat. Tidak hanya aku. Alex pun sama KO-nya denganku. Hingga kabarnya Handy sampai meminta maaf habis-habisan di telepon.

Jujur saja ini flu terberat yang pernah kualami setidaknya selama lima tahun belakangan. Apalagi karna kali ini aku sendirian di rumah.

Ayah pergi untuk sepekan ke depan. Tepatnya sebulan yang lalu, aku mendaftarkan Ayah dalam exhibition terbesar se-Asia Tenggara, dimana pelbagai alat musik di seluruh penjuru Asia akan dipamerkan disana. But who knows this good idea could be the worse one? Aku saat itu tidak tahu jika hari dimana Ayah berangkat adalah saat-saat dimana aku berbaring lemah dan membutuhkan bantuan seseorang untuk memberiku beberapa suap nasi. Kupikir ini akan menjadi hadiah ulang tahun terbaik untuk Ayah. Tapi nyatanya aku malah hanya menjadi beban.

Berjam-jam sebelum berangkat, Ayah sempat memutuskan untuk tetap tinggal karna kondisiku yang tak stabil. Terpaksa aku harus mendebatnya agar ia tetap menghadiri pameran itu seperti rencana semula. Mengatakan padanya bahwa aku tidak apa-apa, berjanji akan baik-baik saja hanya dengan meminum obat, dan meyakinkannya bahwa ini bukan pertama kalinya aku terserang flu.
Tapi aku tahu seperti apa Ayah. He's kind of over-protecting me-people around him-anyone he loves. Dan seperginya ia menuju Jogja, aku tahu tak semudah itu ia percaya aku baik-baik saja. Ia akan menelpon ibu, mengabaikan semua masa lalunya sejenak, dan meminta bantuannya untuk selalu mengecek keadaanku.

And I know Ibu will be on call soon.
Tak selang beberapa lama dari dering pertama, ponselku kembali berdering dan kali ini aku melirik layarnya. Disana terdapat dua pesan belum terbaca dari pengirim yang sama. Ibu.

Oh, bu.. Tolong telepon saja aku. Gumamku semakin meringkuk di balik selimut. Aku benar-benar tak berdaya untuk membaca apapun sekarang, sekalipun itu sebuah pesan yang amat singkat.

Yeah, there's nothing more I can do. Bahkan untuk menyeret tubuhku agar makan setidaknya sesuap nasi saja aku tak sanggup. Aku tahu jika ini sama sekali tidak akan membantuku merasa lebih baik. Berada di tempat tidur seharian tidak akan meredakan rasa nyeri di kepalaku tanpa bantuan analgesic. Apalagi jika suhu badanku naik dan aku tidak meminum segelas pun air mineral.

Tapi, andai saja aku bisa melakukannya dan benar-benar memenuhi janjiku pada Ayah beberapa jam yang lalu.

**

Remy

"Kau menyukainya kan?"

Ia mengatakannya sekali lagi. Di ruang otopsi, di kantin, bahkan ketika kami berpapasan di kamar mandi, ia masih saja membicarakan hal itu.

"Siapa?"

Untuk kesekian kalinya aku berlagak seolah tak mengerti apa yang ia bicarakan.

"Jangan berpura-pura. Kau tahu persis siapa yang kumaksud."

Sejak pertemuan tempo hari, Handy  terus menyerbuku dengan berbagai macam pertanyaan tentang perempuan itu. Aku sebetulnya dengan sepenuh hatiku ingin menjelaskan sejelas-jelasnya kesalahpahaman yang terjadi. Alasan mengapa aku memandanginya dan apa yang kupikirkan ketika melihat gadis itu untuk pertama kalinya walaupun instingku tidak berkata begitu. Namun setelah kupikir lagi, rasanya percuma saja. Romantic cell yang memenuhi seluruh tubuhnya tak akan berhenti mengorek kehidupanku. Bahkan sekalipun aku berkata tidak pernah mengenalnya seumur hidupku,  Handy mungkin berencana menjodohkanku dengan perempuan bernama Gitta itu.

Time MachineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang