Gitta
Aku terbangun di atas kasur, dan benar-benar lupa bagaimana caranya bisa sampai sini.
Seingatku, semalam aku kedatangan seorang berengsek yang bertamu tak kenal waktu. Karena mulanya kupikir itu Alex, seluruh energiku terkumpul sedemikian rupa untuk menemuinya—namun semangatku segera luntur karna bukan Alex yang kutemui dari balik pintu itu.
Aku tak ingat apapun yang terjadi setelahnya
Sekujur tubuhku berkeringat dan bau, terbungkus selimut hangat yang ikut basah karenanya. Di dahiku—entah aku tak ingat kapan meletakkannya di situ—terbentang sehelai handuk Micky Mouse hangat. Kudapati termometer tergeletak di atas meja, dengan air raksa yang tepat berhenti di angka 39 derajat celcius, melebihi garis merah. Di sebelahnya, ada serantang makanan yang masih rapat tertutup.
Ibu?
Aku meletakkan kecurigaanku pada ibu untuk rantang yang tiba-tiba berada disana.
Untuk handuk ini juga.
Dan, dan termometer!
Ayah tak mungkin memeriksaku dengan termometer. Cukup dengan punggung tangannya, ia sudah tahu berapa suhu badanku, dan apakah aku hanya berlebihan atau benar-benar sakit.
Tapi, ibu? Bukankah ini gilirannya jaga di rumah sakit?
Krucuk, perutku berbunyi.
Ah, masa bodoh siapapun yang membawanya kemari. Aku sudah kelaparan, tak makan sejak siang tadi, sejak ayah berangkat untuk pamerannya.
Dengan satu gerakan, kusambar rantang bermotif bunga khas ibu, kubuka satu per satu. Aku tak tahu harus mulai makan dari sisi mana. Kusambar sendok demi sendok dengan tak keruan.
Klak. Suara kenop pintu yang diputar mengejutiku ketika hampir menyuapkan sesendok bubur ke mulut. Seseorang keluar dari balik pintu, membawakan semangkuk air kompres dan segelas coklat panas.
**
Remy
Kenangan selalu datang tanpa peringatan. Misalnya saja saat kau tengah melihat-lihat rumah orang lain dan tanpa sengaja melihat barang-barang yang menghubungkanmu dengan orang-orang yang kau sayangi. Pada kasusku, barang yang kumaksud adalah alat musik.
I used to love music. Aku bisa memainkan piano, gitar, saxophone, terompet dan kendang. Ibuku penyuka musik klasik sedangkan ayahku sangat menyukai musik dangdut sehingga aku dan adikku terbiasa dengan keduanya. Kami memiliki satu kamar yang didedikasikan untuk ruang musik. Tidak berbeda jauh dengan ruangan yang kumasuki sekarang dengan piano, gitar, not musik, piringan hitam, dan berbagai macam kaset musik klasik. Dua hal yang membedakannya adalah tidak ada kaset musik dangdut dan tidak ada keluargaku.
" Apa kau bilang?"
Masih teringat dengan jelas bagaimana seseorang yang tidak kukenal menghancurkan duniaku dalam satu malam.
" Dengan sangat menyesal saya ingin mengabarkan bahwa telah terjadi kecelakaan yang merenggut nyawa orangtua dan adik Anda," ucap seorang wanita di ujung telepon, tepat dua minggu sebelum pesta kelulusan SMA-ku. Ia tidak tahu bahwa lima hari sebelumnya ayahku baru pulang setelah bekerja di laut lepas Negara Denmark selama kurang lebih dua bulan dan kami merencanakan untuk mengadakan pesta kecil-kecilan karena adikku akan berulangtahun ke-14 tepat lima hari setelah kepulangannya –hari ini.
" Apakah ada seseorang yang bisa saya hubungi untuk mengurus berkas kematian mereka?" Wanita itu berkata sekali lagi tanpa menunggu reaksiku. Kepalaku berputar-putar dan napasku menjadi berat seolah-olah udara di sekitarku telah direnggut dengan paksa.
" Kami tidak memiliki siapapun lagi." Aku berusaha menstabilkan suaraku agar tidak bergetar meskipun otakku dan seluruh tubuhku berharap bahwa telepon itu salah sambung.
Aku masih ingat setelah itu aku duduk meringkuk di lantai berjam-jam sembari memegangi gitar yang baru saja kami beli sebagai hadiah ulang tahun adikku. Lalu keesokan harinya aku menghancurkan semua hiasan, kue ulang tahun, dan gitar itu. Baru dua hari setelahnya aku ke rumah sakit dan mengetahui bahwa semuanya telah diurus oleh teman lama ibuku yang sekarang kupanggil dengan sebutan "Bunda".
Aku bergegas keluar dari ruangan itu sebelum semakin banyak kenangan merusak konsentrasiku. Kucari handuk dan baskom untuk menampung air panas yang telah menguap dari teko. Berapa lama aku berdiri disana?
Kudidihkan air panas sekali lagi untuk membuatkan gadis itu minuman hangat. Kubuka laci dan kulkas untuk mencari apapun yang bisa diseduh. Kutemukan sebungkus coklat panas bubuk yang biasa Bunda minum sebelum berangkat kerja. Saat aku kembali ke kamar, gadis itu ternyata sudah bangun.
**
Gitta"Sudah bangun?" Tanyanya secara retoris.
Aku tadinya benar-benar ingin lompat dari kasur karena terkejut seseorang baru saja membobol rumahku. Tapi setelah kuamati lagi, ia bukanlah orang asing.
"Lo jangan pergi kemana-mana. Lo belum pulih" Kata pria itu meletakkan semangkuk air hangat yang baru digantinya.
"Kayaknya aku pernah..."
"Ketemu gue kan?" Potongnya. "Bunda yang nyuruh gue datang kesini."
"Bunda?"
"Ibumu."
Aku berusaha meletakkan kepala yang peningnya makin menjadi. "Kok bisa?"
Lelaki itu mengangkat bahunya, tak berkutik sedikit pun. Kutebak, pertanyaan itu juga yang berkali-kali ia tanyakan.
"Udah, lanjutin aja dulu makannya"
Tangannya yang besar mengambil handuk Mickey Mouse dari dahiku untuk diganti dengan air baru.
Aku menghentikan kekalapanku memakan rantangan ini. "Eng.. kayaknya udah deh kompresnya.. Gue udah nggak kenapa napa kok"
"Nanti habis makan gue cek lagi suhu badan lo, baru kita tau, lo kenapa napa atau enggak"
Aku bungkam soal itu. Seingatku memang ia bekerja sebagai dokter forensik, menurut penjelasan Alex tentang kawannya. Tapi aku tak tahu dokter ahli forensik bisa memeriksa makhluk hidup.
**
RemyGadis itu makan lahap sekali. Sudah lama sekali sejak aku mengurus orang sakit bukannya manusia hasil kecelakaan dan pembunuhan. Aku merasa kikuk duduk disana sambil memandanginya melahap habis makanan di rantang. Sesekali ia melirik ke arahku tampak tidak nyaman juga.
" Lo cuma butuh tidur lagi. Habis itu bakal baikan, " ucapku setelah mengecek suhu badannya sekali lagi kemudian mengulurkan secangkir coklat hangat. " Itu satu-satunya minuman yang ada di kulkas. Jadi suka gak suka minum aja."
Gadis itu menatapku penuh tanya kemudian dengan ragu menerima minuman itu. Aku menunggunya hingga ia menghabiskan seluruhnya kemudian berkata sekali lagi, "Ibumu baru bisa datang besok pagi. Lo gak papa kan kalo gue tinggal?"
Ia masih menatapku tanpa berkata apa-apa. " Ya..eh –ya gue udah gak papa kok," ucapnya setelah aku memberinya isyarat sekali lagi.
Aku melemparkan pandanganku mengitari ruangan, memastikan bahwa semua yang perlu dilakukan telah dilakukan kemudian terhenti ketika melihat rantang dan gelas yang belum dicuci. Seolah menyadari pikiranku, ia dengan cepat berkata, " Gue bisa cuci itu sendiri kok."
" Kalau gitu, gue pamit dulu."
" Eh," ucapnya ketika aku keluar dari kamar. " Lo belum cerita gimana rantang itu bisa ada di tangan Lo."
" Tanya ibumu," balasku tanpa menoleh.
**