#4

69 3 0
                                    

Gitta

Andalas Café.

Kafe ini terletak di persimpangan jalan tak jauh dari tempat kerjaku—yang artinya tak jauh pula dari Oost. Namun keduanya memiliki perbedaan yang sangat kontras. Dari mulai arsitekturnya yang lebih fresh dan jauh dari kesan etnik, sofa yang bermotif tribal, bar yang disembunyikan, juga tak ada pajangan berupa Bendera. Yang ada hanyalah ocehan-ocehan seperti Keep Calm and Eat Cupcakes serta kutipan dari tokoh-tokoh terkenal lainnya. Basically, Andalas café memang terlihat lebih menarik ketimbang Oost. Tapi bukan berarti Andalas bisa mengalihkan perhatianku dari Oost.

Hal yang bisa kudapatkan di Oost tak bisa kudapatkan disini. Seperti sandwich tuna yang bisa membuatku kenyang hanya dalam satu gigitan. Aku mencoba mencari-cari menu semacam itu, tapi kekenyangan macam apa yang bisa dihasilkan dari sepotong waffle dan pancake?

Begitu juga dengan suasana disini yang berbeda dari Oost. Di Oost, entah mengapa, tiap detiknya bagaikan bergerak secara slow motion, dan percayalah kau akan menyukai tiap jam yang kau habiskan disana. Di sini, aku bahkan tidak bisa berlama-lama. Kau pasti juga akan memutar otakmu, mencari cara untuk bisa pergi dari sini agar mendapatkan asupan oksigen yang cukup.

"Tolong berikan aku secangkir kopi luwak dan pancake dengan toping madu." Alex merapalkan pesanannya pada seorang waiter laki-laki bercelemek merah yang siap mencatatnya. Sementara aku masih sibuk mencari menu lain yang bisa menaikkan selera makanku. Meskipun waiter itu sudah memberikan rekomendasi-rekomendasinya, dan juga Alex ikut mendukung waiter itu dengan embel-embel crepes disini enak. Tapi perhatianku benar-benar masih tertuju pada sandwich tuna milik Oost. Aku pun menyerah.

"Berikan aku yang sama sepertinya." Kataku. Waiter itu lantas pergi dengan senyumnya.

Jujur saja, tiga puluh menit lalu jika bukan karna ada Alex disini, aku benar-benar sudah hengkang dari kekacauan di dalam sini. Kedai ini benar-benar ramai. Penuh sesak oleh orang-orang yang hendak berangkat kerja, maupun pekerja kantoran yang sedang meeting. Itulah alasan mengapa waiter tadi lama sekali menghampiri meja kami. Katanya, semalam terjadi kericuhan dalam sebuah pesta ulang tahun, dan beberapa karyawan yang lembur diliburkan hari ini. Karena mengasihaninya, kami berdua tak sampai hati untuk komplain dan segera memesan sesuatu.

Lagi pula, tiga puluh menit bersama Alex bukan sesuatu yang buruk. Maksudku, bukankah ini yang kuinginkan sejak dulu? Sejak Alex berkali-kali mengajakku kemari namun selalu gagal?

"Kau sering kesini?" Tanyaku setelah berulangkali mempertimbangkan kata-kata yang tepat.

Pria di depanku ini tersenyum. "Aku sudah menemukan tempat ini jauh sebelum aku diwisuda."

Dan kau betah? Aku tersenyum, berusaha terlihat antusias dalam pembicaraan ini.

"Aku sering juga mengajak beberapa temanku ke sini." Sambungnya.

"Dan pacar juga tentunya." Kataku menggodanya. Alex hanya tertawa sembari mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Entahlah, mungkin mencoba untuk memanggil waiter tadi agar cepat-cepat mengantarkan pesanan kami karna sudah kelaparan. Tapi setelah itu, Alex berhenti tertawa.

"Kau lihat orang yang disana?"

Aku mencoba mengikuti kemana telunjuk Alex tertuju dan menemukan dua orang pria nampak sedang bernegosiasi di sebuah meja yang letaknya lumayan jauh dari meja tempatku dan Alex berada.

"Ternyata tidak hanya aku yang masih sering kemari." Kata Alex. Aku tidak tahu apa maksudnya. Namun kemudian Alex menjelaskan padaku bahwa pria itu adalah salah satu temannya yang sering ia ajak nongkrong di tempat ini.

Time MachineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang