Dingin pagi menusuk tiap - tiap bilah tulang punggungnya hingga gigil tidak dapat ditolak tubuhnya lagi. Bandung dengan kejam merajam penduduknya dalam neraka pancaroba tanpa akhir sepanjang bulan - bulan kemarin. Pada layar ponselnya tertulis terang "15°C" yang membuat dahinya mengernyit masam sambil ia meniup hembusan uap dari segelas seduhan teh ibunya.
"Nares! Kamu ini bagaimana sih? Sudah jam 6 ini! Masa hari pertama terlambat? Malu dong! Cepat habiskan lalu pergi. Nanti dijemput bapak pulangnya, ya."
"Iya, bu. Sebentar. Masih panas." Orang waras manapun pasti enggan beranjak bangun apalagi keluar rumah dengan udara seperti ini--sudah mendung, dingin, gerimis pula. Namun, ibu benar. Ia tidak boleh terlambat di hari pertamanya. Apa kata guru dan murid yang lain? Tidak enak pastinya jadi bahan bulan - bulanan sekelas, bahkan seangkatan di tahun pertamanya masuk SMA. Apalagi sebagai seorang siswi yang jauh dari termotivasi untuk menjadi yang terbaik di antara teman - temannya, ia tahu lebih baik daripada bertaruh akal dan alasan dengan para guru di sekolahnya. Menjadi sasaran empuk mereka tentunya jauh lebih buruk dibanding menjadi sasaran empuk siswa - siswi lain.
Masuk ke mobil, ibunya menyalakan radio. Kopling keras mobil tua keluarga Adiputra diinjak sekuat tenaga kaki kecil Nyonya Adiputra sambil ditekannya rem tangan reot Toyota Kijang itu ke bawah hingga melaju dengan kejutan kecil ke depan.
"Ibu ah! Harusnya Nares aja yang bawa."
"Kamu yang bawa lalu kalau ditilang nanti siapa yang malu coba? Sudah kamu lanjut tidur aja di belakang. Biarkan ibu nyetir dengan tenang."
Ia tertawa lepas lalu ibunya ikut terbahak juga. Baru sekitar tiga bulan ibunya bisa duduk di balik setir dan mengendarai mobil bekas ini. Tabrak sini, tabrak sana; senggol sini, senggol sana--ayahnya hanya bisa membenamkan wajah letihnya ke telapak tangannya ketika ia mendengar cerita ibu di jalan. Ia juga mengalami hal yang sama hanya saja aneh rasanya ketika membayangkan dirinya lebih pandai dalam menjalankan tugas orang dewasa seperti menyetir mobil dan mengendarai motor dibanding orang tuanya sekarang. Wajar saja sebab nama Adiputra bukan nama bangsawan atau pejabat di tempat asalnya melainkan nama keluarga petani dan peternak yang sudah lama menjual lahannya untuk pergi mengadu nasib di kota besar sebagai orang - orang proleter pembangun gedung - gedung pencakar langit dan karyawan - karyawan kecil yang bekerja di dalamnya. Menabung lima tahun lebih hanya untuk beli satu mobil bekas dan satu dekade lebih untuk meneruskan jenjang pendidikan anak - anaknya. Mobil pertama Nares ialah truk pick-up pamannya dari hari - hari bertani keluarga mereka.
"Ibu tahu jalan ke sekolah kan?"
"Memang ibu seperti bocah di balik setir tapi ibu tahu persis dimana kamu mengenyam pendidikan, Reres. Ibu bangga sekali kamu bisa masuk sekolah swasta seperti ini."
"Iya. Nares tahu, bu. Terima kasih ya, bu."
Mobil mereka mulai bertambah kecepatan, jalanan di luar jendela tempat duduknya mulai melebur di matanya dan kantuk tiba lagi akhirnya untuk merengut kesadarannya. Nares pun tertidur lelap sepanjang perjalanan, selain dari waktu - waktu dimana ia tergoncang karena ibunya memberhentikan mobilnya dengan tiba - tiba, belum terbiasa merasakan pijakan kakinya di atas pedal - pedal yang ada.
"Ibu, Nares kayaknya kena serangan jantung diantar ibu."
Tiba di parkiran sekolah dengan wajah yang masih kumal, ia langsung terbelalak kaget karena suara tawa ibunya yang amat keras, "Ah, sudah. Ibu tidak mau dengar. Sana keluar. Sudah tujuh kurang tuh. Nanti telat."
"Iya, iya. Pamit, bu." Nares melambaikan tangannya pada ibunya setelah keluar dari mobil, tas seberat onggokan batu menekan erat punggungnya.
Ibunya melambai balik lalu keluar pergi dari tempat parkir sekolahnya. Pertama yang ia rasakan ialah rintik dingin hujan pagi yang terus menghantam segala di hadapannya termasuk sergam dan tas miliknya lalu ia baru menyadari dua, tiga kelompok siswa - siswi yang belum ia kenal mengelilingi pintu masuk koridor sekolah sambil bercengkerama ria dengan satu sama lain. Penasaran, Nares mendekati mereka lalu tak sengaja berpapasan dengan wajah yang tidak asing baginya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Semeja
Teen Fiction1 angkatan, 2 meja, 3 tahun berturut - turut. --- Isyana dan Nareswari menemukan diri mereka selalu bersama di tiap masalah yang selalu menemukan jalannya pada mereka. Namun mereka tetap akan jadi sahabat, bukan? Teman senasib sepenanggungan? Atau m...