Mabuk Perjalanan, atau Mabuk Bian?

14.9K 957 39
                                    

Minta ijin cuti dari sekolah buat ngantar Baby Bima ke Surabaya, sampai batas waktu yang tidak bisa kuperkirakan, entah kenapa aku kok jadi ngerasa kayak nandatanganin surat pengunduran diri secara tidak langsung, ya?

Aku nggak tahu kami bakal tinggal berapa lama di tempat Ayah Mas Bian, di Surabaya. Aku hanya bisa menebak, kalau keberadaan kami di sana akan memakan waktu lebih dari seminggu. Mas Bian sudah lama tidak bertemu dengan Ayah kandungnya, jadi mereka pasti butuh sedikit waktu lebih untuk saling melepas rindu.

Hari ini aku tidak pergi ke sekolah karena harus menyiapkan semua keperluan keberangkatanku dan Baby Bi, baju-baju, popok, bedak bayi dan segala macam tetek-bengeknya, susu bubuk, botol susu, serta termos air panas yang akan kupakai untuk menyeduh susu Bima di perjalanan, semua sudah kukemas dalam sebuah koper, satu tas ransel (yang ini berisi pakaianku, dan jangan tanya apa aja isinya kalau nggak mau malu.) dan juga tas jinjing kecil tempat menyimpan semua keperluan khusus Bima. Soal ijin cuti dari sekolah, aku mendapatkannya setelah menelpon Pak Kepsek.

***

"Apa?" Mas Bian, yang lagi nonton acara berita kriminal siang di tivi, mengernyit melihatku yang terus memandangnya sembil mengerutkan dahi. Aku baru saja membuka pintu kamar, dan mendapati dia yang tengah asik menonton di ruang keluarga. Nih orang kok masih di sini, dan nggak pulang-pulang sih?

"Nggak apa-apa, Mas," aku menggeleng sembari menghenyakan di sofa dua dudukan, yang letaknya berseberangan dengan dengan sofa yang diduduki Mas Bian, "cuma mikirin soal perjalanan pake mobil besok," aku cengengesan menggaruk kepala yang tak gatal.

Mas Bian diam sebentar, dia menatapku seksama, "Kamu mabuk darat?"

"Hahaha, gitu deh, Mas."  Tengsin juga sih ngakuinnya.

"Jadi selama ini kamu belum pernah berpergian keluar kota?"

Ngangguk malu. Ketahuan kalau aku cuma anak desa yang jarak jangkauan pergaulannya hanya sampai wilayah kacamatan dan kabupaten doang.

"Waktu SMP, saya pernah ikut Papa pergi ke Mataram buat ngikut seminar naik Bus, cuma baru sampe cabang B'ango, Papa langsung bawa Suci turun dari mobil gara-gara Suci sekarat—tepar di atas Bus." aku bergidik mengingat kenangan memalukan itu. Kok mendadak aku jadi formal ya sama Mas Bian?

Mas Bian terdiam, mencoba mencerna informasi yang baru kuberikan. Ekspresinya merupakan campuran dari rasa cemas dan bingung, "Kalau begitu besok siapin buah yang kecut-kecut asem sama beberapa roti dan juga obat anti mabuk buat kamu," dia bergumam seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri. "Jangan sampe Mas, kerepotan ngurusin kamu sama Bima," dia mendelik ke arahku.

Aku manyun. Yowes, kalau nggak mau direpotin, ya jangan ajak akulah, Mas.

***

Buat yang pernah ngerasain mabok darat pasti ngerti kan, gimana perasaanku waktu naik bus dalam perjalanan yang butuh hitungan hari buat sampe di tempat tujuan? Mual. Pusing. Isi perut rasanya seperti ditarik-tarik. Laper, tapi nggak bisa makan. Bawaannya muntah mulu, jadi mesti kudu sedia kantong plastik selama dua puluh empat jam buat jaga-jaga isi perut keluar dari tempatnya.

Sepanjang perjalanan aku gelisah, menggeliat-geliut seperti orang kebelet kencing. Padahal busnya belum juga nyampe satu kilo jalannya, sejak kami naik di terminal bus di cabang Talabiu. Sebelum berangkat tadi, Mama mewanti-wantiku agar jangan mabok atau muntah, jaga Bima, dan jangan ngerepotin Mas Bian. Tapi sejak kecil aku udah punya penyakit mabok darat kalau ada perjalanan jauh, gimana bisa diubah coba? Belum lagi kami mendapat tiket kursi di deretan yang paling tidak menyenangkan, bangku belakang deket toilet, jadi sama sekali nggak membantu.

Mama Buat BimaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang