Pulang dari tempat Bapaknya Mas Bian nanti, aku bakal minta naik pesawat! Harus! Kapok aku naik bus terus dan tiga kali nyebrang kapal. Yang paling parah adalah waktu nyebrang dari Bali ke Banyuwangi, enam jam luntang-lantung di laut dengan intensitas gelombang yang agak keras menghantam kapal, bikin aku keleyengan.
Beruntung kata Mas Bian, setelah sampe Banyuwangi nanti kagak perlu nyebrang laut pakek kapal lagi. Kecuali kalau aku mau nyasar dulu ke Madura. Kagak! Terimakasih.
"Masih lama, Mas?" tanyaku sambil sesekali menguap menatap indahnya kerlip lampu kota Banyuwangi di hari yang masih gelap. Ini baru jam dua subuh. Bus yang kami tumpangi baru saja keluar dari Pelabuhan Banyuwangi.
Suasana di dalam bus masih gelap dan sepi. Hanya beberapa penumpang ditambah Pak Supir yang masih terjaga.
"Tinggal beberapa jam lagi," jawab Mas Bian pelan, sembari mengusap lembut puncak kepala anaknya yang tertidur dalam pelukanku.
"Oh. Ayah kandung Mas, tinggal di Surabaya?"
Mas Bian mengerutkan kening, "Katanya sih Beliau memang punya rumah di Surabaya. Tapi untuk sekarang Ayah tinggal di Sunan Drajat, di Rumah Eyang Kakung."
"Sunan Drajat? Itu nama daerah ya, Mas? Mirip salah satu nama dari walisongo, jadi keinget sejarah tentang islam di Jawa."
"Itu nama salah satu desa di Kabupaten Lamongan. Mas juga kurang tahu sejarahnya, tapi nanti sesampainya di sana kita bisa belajar sama-sama."
Aku mengangguk antusias.
Diam lagi.
Aku baru saja akan tertidur saat mendengar Mas Bian memanggil namaku.
"Suci?"
"Iya Mas." Menoleh, mengerjap linglung, dan ... dug! Jantung mendadak nggak karuan ketika menyadari betapa dekatnya muka Mas Bian dengan mukaku. Jarak yang dekat gini bikin muka Mas Bian kelihatan makin ganteng, walau ada sedikit belek dan bekas iler nyempil di sana-sini. Hihiihi. Ternyata nggak selamanya orang ganteng itu sempurna, ada cacat di sana-sini.
"Terimakasih ya udah mau nemenin aku ke sini." Ya Allah, senyumannya tulus bikin jantungku rontok dan mata nggak bisa berpaling.
Aku nyengir. Mencoba menetralisir degup jantung yang udah kayak bunyi bedug buka puasa, aku menjawab, "Sama-sama Mas. Lagian seharusnya aku yang berterimakasih sama Mas Bian, karena Mas Bian sudah mau ngajakin aku ke Jawa. Dan bayarin shoppingan-ku waktu di Bali." Hehehe, cuma bisa senyum tiga jari waktu keinget betapa diriku mengempeskan isi dompet Mas Bian dengan berbelanja berbagaimacam pakaian, sarung bali, cemilan, dan juga berbagai macam peralatan make-up waktu bus kami singgah di terminal Bali.
Dia terkekeh, "Lain kali jangan boros-boros. Nanti kita jadi gembel di kampung orang, kalau kamu belanjanya kek gitu terus."
Lain kali? Kek gitu terus? Berarti kalau nanti aku belanja lagi, bakal di bayarin dong? ASIIIIKKKK!
***
"Iya. Bentar lagi kami nyampe Bungurasih. Hmmm ...," Mas Bian berbicara dengan salah satu adik tirinya lewat ponsel. Nama adik tirinya itu Ervin, katanya do'i setahun lebih tua dariku, anak pertama Ayah Ervin sama Istri kedua beliau.
Konon katanya Mas Bian punya tiga adik tiri. Satu perempuan dan dua laki-laki. Kalau nggak salah nama mereka ... Ervin, Zachary, dan Kartika. Kayaknya yang namanya Ervin excited banget pengen ketemu sama Mas Bian. Tiap hari si Ervin selalu nyempetin diri buat nelpon Abangnya, buat nanyain kalau kami sudah sampe daerah mana.
"Kalian udah nyampe Bungurasih? Jemput pake apa? Oh, mobil ...." Sesekali Mas Bian melirikku yang sedang bermain-main dengan Bima di sebelahnya, "Eh? Apa nggak kebanyakan tuh yang jemput? Kamu, Zach, sama ... Kanya? Siapa itu Kanya?" keningnya berkerut, "Kejutan?" ekspresi wajahnya tampak bingung. "Oke. See you."