Turun Ranjang?

13K 834 30
                                    

Hiks. Daku apes. Kena omel dan setrap Pak Dosen gara-gara nyerang orang dalam mobil. Tapi salah tuh orang, siapa suruh dia ngehina keluargaku? Bahkan ngehina Mbak Sati yang udah meninggal. 

Aku bukan tipe orang yang suka pake jalan kekerasan, aku juga nggak begitu masalah ka

lau dihina sama orang lain. Tapi kalau ada yang berani menghina keluargaku ... Sini ta' jadiin perkedel tuh orang!

"Cewek barbar!" gerutu Kanya sambil menoleh, menatap penuh dendam padaku. Aku sudah berhasil menjambaknya, merusak rambut salonnya, dan menamparnya sekali.

Hahaha aku senang, tapi ... aku masih belum puas. Pengen nampar lagi.  Kini aku tahu kenapa cowok lebih suka berantem pake kekerasan fisik daripada saling caci maki. Ada kepuasan tersendiri ngeliat orang yang nggak kita sukai mengaduh dan meringis kesakitan. Aku nggak membenarkan tindak kekerasan fisik, tapi kalau udah keterlaluan dan memancing emosi dengan menghina keluargaku, Hajar bleh! Urusan lain belakangan.

 "Oh, mau dibarbarin lagi?" dengusku sebal.

"Kanya, udah!" Zachary menegur Kanya dengan suara berwibawa yang dalam.

"Suci, Diem!" Mas Bian nggak mau kalah. Dia mendelik  galak ke arahku.

Ervin dan Bima, yang tadi histeris gara-gara tadi berada ditengah 'pertarungan' antara aku dan Kanya, terpaksa diungsikan ke bangku depan mini bus, di samping Pak Supir. Takutnya nanti kalau aku dan Kanya saling serang lagi, Baby Bima yang duduk di tengah bakal terluka.

Haduh Nak, maafin Tante ya? Tante Suci nggak bermaksud ngelukain kamu, tapi mahluk yang namanya Kanya itu perlu diberi pelajaran, agar dia tidak seenaknya menghina Kakek, Nenek, dan Almarhumah Mamamu.

 Zachary sengaja duduk di samping Kanya, dan Mas Bian teteup duduk di sampingku. Katanya sih buat jaga-jaga, kalau aku sama Kanya berantem lagi mereka udah siaga megangin kami. 

"Huh!" dengus Kanya sambil buang muka ke depan.

Yaelah, siapa juga yang mau ngeliatin muka kamu yang penuh dempul. Cuih. Aku mendecih pelan, namun Mas Bian tampaknya menyadari apa yang kulakukan. Dia menyipitkan matanya menatapku. Sepertinya masih belum puas menguliahiku tentang bahaya menyerang orang asing di atas mobil. Terlepas dari si orang asing itu adalah calon istri pilihan Ayahnya.

 Aku balas menyipitkan mata ke arah Mas Bian.

Cie cie, Mas Bian ngebelain calon istri ni yeee! Cie cie, calon istri Mas Bian otaknya ilang sebelah, cie .... "Suci," tegur Mas Bian memperingatkanku, suaranya rendah berbahaya.

"Apa?" ketusku dengan nada suara meninggi, "aku nggak ngapa-ngapain kok!" aku mencoba membela diri.

Mas Bian mendesah.

Tak ingin bertengkar dengan Mas Bian, ataupun berkelahi dengan kuntilanak yang duduk di bangku depanku, aku memilih mengabaikan Kanya (yang masih ngedumel tak jelas, memakiku.) dan memejamkan mata untuk beristirahat. Aku pikir aku bisa tidur dengan tenang, karena tahu Bima sedang tertawa-tawa senang, bermain dengan Om-nya.

***

Aku bermimpi indah, tentang dua orang anak kecil berusia sekitar enam dan empat tahun, laki-laki dan perempuan. Berlari riang di pinggir Pantai Oi Ni'u, sambil menjerit gembira melambaikan tangan ke arahku dan memanggilku ..., "Mama! Ayo kemari, main sama kami!"

Mama? Aku? Mama? Yang benar saja?

Tapi kalau kuperhatikan lagi, wajah kedua anak kecil menggemaskan itu tampak tak asing bagiku. Terutama yang laki-laki, dia terasa familiar untukku. Tapi ... apa benar mereka berdua anakku? Seingatku aku belum menikah.

Mama Buat BimaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang