Keluarga Mas Bian

10.5K 616 81
                                    

Setelah menitipkan Bima pada Ervin, dan meminta ijin pada keluarga Ayahnya untuk bicara secara pribadi denganku. Mas Bian segera membawaku ke halaman belakang Rumahnya Om Suwiryo untuk bicara berdua.

"Maksud Mas tadi apa?!" Tuntutku sembari menepis kasar tangan Mas Bian yang menggandeng tanganku.

Mas Bian mendesah, "Ci, yang tadi ...."

"Aku tahu Mas nggak mau dijodoh-jodohkan sama Mak Lampir yang namanya Kanya itu," aku memotong perkataan Mas Bian, "Tapi jangan jadiin aku sebagai tameng! Pake acara bohong segala di depan Om Suwir kalau Suci ini calonnya Mas, dan si Tante udah setujuin kita," omelku. "Gimana kalau Om Suwir percaya dan kita benar-benar disuruh nikah?"

Mas Bian mendesah. Dia memijat pelipisnya, tampak pusing mendengar cerocosanku.

"Dengar Ci. Sebelumnya aku minta maaf, karena aku mendadak ngenalin kamu sebagai calon Mama barunya Bima, di depan keluargaku. Tapi tolong percaya, aku mengatakan yang sebenarnya," keningku berkerut mendengar ucapan Mas Bian.

Maksudnya apa?

"Aku nggak ngejadiin kamu tameng buat nolak perjodohan dengan Kanya. Kamu memang calon istri aku."

Apa?

"Perjalanan kita bertiga ke Jawa untuk menemui Papaku, adalah rencana dari Mamaku dan orang tuamu agar kita bisa dekat," akunya salah tingkah. Dan tampak merasa bersalah saat menatapku.

Kepalaku mendadak pusing. Apa-apaan ini ...? Ya ampun, para orang tua itu benar-benar licik dan keterlaluan. Mereka memang berkali-kali memintaku untuk menikah dengan Mas Bian, tapi aku tidak menjawab 'iya'.

Dan sesayang apapun aku pada Bima, aku tidak mungkin menikah dengan Mas Bian. Nggak sreg tahu! Aku hanya menganggap dia sebagai Kakak Ipar, suami Mbak Sati. Dan jika aku menikah dengan Mas Bian rasanya seperti  mengkhianati Mbak Sati, terlepas dari Kakakku itu sudah meninggal.

"Suci?' Suara Mas Bian menarikku keluar dari lamunan.

Aku menarik napas frustrasi, "Apa Mas menerima perjodohan kita begitu saja?"
Mas Bian mengangguk.

"Kenapa?"

"Demi Bima," jawab Mas Bian pelan. Aku tidak mengerti kenapa hatiku langsung berdenyut nyeri.

Jadi hanya karena Bima?

Kami berdua terdiam canggung. Kepalaku benar-benar terasa sakit dan berat sekarang, seperti di pukul Godam. Terlalu banyak informasi dan kejutan yang harus dicerna, dan belum lagi, aku masih benar-benar lelah karena perjalanan jauh.

"Ayo kita masuk, Papa sama yang lain pasti  udah nungguin kita," kata Mas Bian sembari berbalik hendak masuk ke dalam rumah.

"Mas," panggilku.

Mas Bian berhenti dan menoleh, "Hmmm?"

"Apa aku dan Mas akan bahagia kalau kita menjalani pernikahan tanpa cinta nanti?"

Mas terdiam sejenak, kemudian menjawab, "Aku akan berusaha menumbuhkan cinta itu, agar pernikahan kita nanti bisa bahagia," ucapnya kalem.

Lagi-lagi aku hanya bisa mendesah. Baiklah. Menikahi Kakak Ipar, demi keponakan, dan berusaha bahagia. Semangat Suciii!
Ugh. Sepertinya aku butuh panad*l.

***

Kanya itu gila. Padahal udah jelas-jelas ditolak Mas Bian, tapi masih aja kekeuh maksa Om Suwir buat ngelanjutin perjodohannya sama Mas Bian. Katanya sebelum janur kuning melengkung, dan hubungan antara aku sama Mas Bian masih belum sah sebagai suami-istri, dia masih bisa nikung. Dasar bocah gemblung.Memangnya dia pikir aku bakal ngebiarin dia nikung aku gitu aja? Aku udah dua kali kena tikung dan ditinggal kawin, dan kalau sampai ada kali ketiga ... Beuh, orang yang nikung bakal kugantung!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 11, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mama Buat BimaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang