Do'a Suci

11.7K 682 13
                                    

Bima udah cakep. Abis mandi dan ganti popok. Udah harum dan bau eek sama pipis lagi! Mmmuah! Hihihihi.

Aku menggelitik Bima, yang menggeliat kegelian dalam dekapanku. Aku baru saja memandikannya di dalam toilet kapal, dalam penyebrangan dari Lombok menuju ke Bali. Nggak bermaksud kejam dengan memandikan keponakan di toilet kapal, toiletnya bersih kok, cuma aku nggak punya pilihan. Daripada si Bima bau pesing dan eek sepanjang perjalanan menuju rumah kakeknya.

Apa? Oh, kalian nanya soal mabukku pada transportasi darat dan laut? Udah mendingan tuh. Udah nggak pusing, mual, dan muntah-muntah lagi. Yah, walau masih belum ngerasa segar karena belum mandi selama dua hari (huehehe!) tapi senggaknya perasaanku sekarang udah cerah. Secerah matahari senja yang mulai bersembunyi seiring datangnya malam.

"Cikucikucikuci. Ponakan siapa yang paling ganteng?" aku mengerutkan hidung, bercanda dengan Bima yang tertawa-tawa lucu. Beberapa penumpang kapal. Orang lokal, dan juga bule yang berpapasan dengan kami, memandang tertarik. Aku mendengar sebagian orang berbisik, bahwa aku ibu yang beruntung memiliki anak setampan dan selucu Bima.

Yeah. Kalau dipikir aku memang beruntung memiliki Bima sebagai keponakan. Dia anak yang tampan, pintar, dan menyenangkan. Seandainya Mbak Sati masih hidup, dia akan menjadi istri sekaligus ibu yang paling bahagia di dunia.

"Bima udah ganteng, ndak bau lagi. Sekarang Tante Uchi yang bau ...," kataku mencoba mengajak Bima bicara. Dia hanya tertawa-tawa seolah  mengerti perkataanku. Kami pergi ke (aku tidak tahu, namanya buritan atau anjungan kapal, atau apalah. Aku tidak tahu banyak soal perkapalan) bangku, tempat Mas Bian duduk dan berbaur dengan para penumpang lain.

"Ci!" Mas Bian berseru, melambaikan tangan padaku. Memberi isyarat untuk pergi ke bangku panjang tempat ia duduk.

Beberapa gadis muda yang duduk di bangku di belakang Mas Bian ikut menatapku. Gurat kekecewaan terlihat jelas di wajah mereka. Mungkin dari tadi gadis-gadis itu asik ngecengin Mas Bian, dan berharap kalau Mas Bian single. Ngeliat aku dan Bima tampang gadis-gadis itu langsung berubah masam. Haduh anak-anak cantik, itu yang kalian kecengin itu udah duren montong yang masih belum move on dari mantan istrinya yang udah metong.

"Thatha! Thatha!"  begitu sampai di tempat Mas Bian, Bima mengulurkan tangan. Minta digendong ayahnya.

"Iya. Iya. Anak ayah udah ganteng," Mas Bian menggendong Bima dan menciumnya gemas. "Udah harum, nggak bau lagi."

"Mas. Masih lama nggak, nyampe pelabuhan Bali-nya?"

Mas Bian melirik jam tangannya. "Lima atau sepuluh menit lagi. Napa Ci?"

"Oh. Masih ada waktu," aku bergumam pada diriku sendiri kemudian mengeluarkan plastik hitam, yang berisi peralatan mandi seperti sabun, odol, sabun, dan sikat gigi, dari dalam tas jinjing kecil yang kubawa. "Aku mandi dulu sebentar Mas. Ngerasa gerah dan kotor nih."

"Oke. Tapi jangan lama-lama nanti ketinggalan bus jadi repot."

"Hmmmm."

"Oh ya, Ci."

"Hmmm?"

"Sekalian jangan lupa sikat gigi. Biar pas bangun tidur di atas bus nanti, mulutmu nggak bau jigong," katanya jahil. Para gadis di belakangnya terkikik geli.

Aku melotot. "Jangkrik!" makiku kesal sembari beranjak menuju toilet kapal khusus perempuan.

***

Aku tahu. Seharusnya aku, atau beberapa penumpang kapal lain yang berjenis kelamin perempuan, yang memberanikan diri untuk mandi atau berganti pakaian di dalam toilet kapal, harus berhati-hati terhadap beberapa tindakan asusila yang akan terjadi.

Mama Buat BimaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang