4

9 1 0
                                    

"Za! " Isaac meneriaki lawan jenisnya yang sedang kebingungan.

Setelah meninggalkan kedua orang tuanya, Isaac mencoba mencari Roza. Ia tahu Roza juga diundang  ke acara ulang tahun Reins. Karenina, teman sekelas Roza tidak dapat berangkat dan minta untuk Roza mewakilinya untuk memberikan kado dari Karenina ke Reins.

"Eh, Isaac, akhirnya gue ketemu elo. Bingung nih, gedung sebesar ini nyariin yang sefrekuensi." Celoteh Roza saat sudah sampai di hadapan Isaac. Lelaki jangkung itu tertawa tipis melihat kelakuan sahabatnya itu.

Ia merangkul bahu Roza. Sembari menggiring anak perempuan orang itu dia, Isaac berkata, “temenin aku yuk buat kasih kado ini ke Reins,"

Roza mengernyit dahi bingung. Namun ia segera mengiyakan ajakan sahabat cowoknya itu dan berkata juga ingin memberi kado darinya langsung.

Roza sejujurnya tidak nyaman dan tidak mau  berlama-lama di pesta orang yang tidak mengundangnya. Ia disini hanya mewakili saja. Lumayan uang seratus ribu dari Karenina bisa ia pakai buat beli jajan.

Setelah mencari Reins dengan berkeliling gedung besar ini. Akhirnya mereka menemukan dia di balkon samping gedung bersama teman-teman Reins.

Isaac datang mendekat dan langsung memberikan kadonya pada Reins.

"Eh, lo dateng juga?" Tanya Reins saat melihat Isaac mendekat.

"Iya, Reins. Ini aku bawa kado untuk kamu."

"What apaan nih?" Reins menerima dengan tangan seakan-akan jijik dengan kado pemberian Isaac.

"Deb, buka nih kado dari Isaac." Reins melempar kado itu seakan tidak berharga sama sekali.

Isaac yang menatap itu merasakan harinya perih. Hadiah yang susah payah ia siapkan nampak tidak berharga di depan perempuan yang ia sukai.

Roza melihat itupun juga ikut prihatin dengan nasib kawannya. Kesialan apa yang sedang meliputi Isaac sampai harus menyukai perempuan gila macam Reins.

"Reins," Panggil Roza. Ia mendekat.

"Kado dari Karenina."

"Oh, Nina nitipnya sama elo." Tunjuk Reins sombong. Ia menyuruh kawan di sebelahnya mengambil kado Nina dari tangan Roza.

"Oh iya. Karena kalian berdua disini, gue mau langsung bilang aja di hari ulang tahun gue, bahwa gue gak suka kalian berada di dekat gue. Jangan pernah datangi gue atau ngobrol sama gue. Karena apa? Karena gue risih dan gak suka deket-deket sama kalian." Dagu Reins terangkat menatap Issac. "Terutama sama lo, Isaac. For your information, sebentar lagi gue tunangan, gue gamau punya hutang perasaan sama orang.”

Roza semakin ingin menjerit.
Jahat sekali Reins! Bahkan sebelum Issac mengutarakan isi hatinya dia sudah dikecewakan dengan ucapan Isaac.

"Baik." Isaac membalas senyum getir. Lalu ia membalikkan badan. Dan perasaan lelaki itu makin hancur ketika Reins membuang hadiahnya tepat di sebelah kaki Isaac.

"Nih!"

****

"Sak, lo beneran ga masalah gue tinggal disini? Nanti kalo kena charge gimana? Gue gabawa duit banyak."

"Enggak, Za. Kamar ini udah di sewain orang tuaku." Perkataan

"Ah~ lu mah bercanda mulu kerjaannya. Masa kamar segede gaban ini disewa ma ortu lu. Kaya amat," Menatap heran dengan ini semua, Roza menciptakan dirinya seakan-akan menjadi manusia paling bosoh disini.

"Iya." Mendengar nada bicara dan perkataan singkat dari Isaac Roza akhirnya pamit keluar dari kamar hotel itu dan kembali ke gedung dimana pesta ulang tahun Reins diadakan. Setidaknya sebelum pulang ia bisa menyicipi beberapa makanan dan pulang dalam keadaan tenang. Dan siapa tahu dia bisa menyimpan beberapa kue untuk di bawa pulang hihihi.

Semakin lama, acara semakin riuh. Dan Roza sangka inilah pesta sebenarnya. Reins meniup lilin ulang tahun ke 18 tahun miliknya dengan di kelilingi orang tua gadis itu.

Roza mengamati itu dengan mulut yang belum berhenti mengunyah.

"Perhatian semuanya." Semua orang menatap pemilik suara tersebut. Atensi satu gedung besar itu langsung tertuju pada pria paruh baya yang berada di samping Reins yang tengah memegang mic. "Di malam ulang tahun Reins, anak kami tercinta, ada hal lain yang ingin kami bagikan kepada para hadirin semua."

Mendengar hal itu, Roza merasa acara ini sudah mulai jenuh apalagi kalau sudah diambil alih oleh bapak-bapak. Maka inisiatif berikutnya, ia akan membawa beberapa kue ini pulang. Tetapi ketika beberapa kue sudah ia selimuti dengan tisu, ia lupa dengan keberadaan tas nya. Perempuan itu mencari tasnya disekeliling tubuhnya.

"Waduh, tas gue mana nih?"

"Apa ketinggalan di kamar Isaac ya? Waduh alamat dompet ma HP gue nih. Gabisa mesen ojol. Waduh." Ia pun berlari keluar gedung tersebut menuju kamar hotel Isaac tadi.

Samar-samar dia mendengar bahwa Reins akan bertunangan. Roza tidak kaget karena tadi Roza sudah menegar dari mulut Reins sendiri.

Yang hanya ada di pikirannya adalah tas berharganya. Semoga saja Isaac masih di kamar itu. Jadi barang berharganya itu tidak ilang.

Sementara di gedung itu suara riuh bercampur tepuk tangan mengiri senyum lebar Reins.

"Anak saya Reinsya Wielder Rukmana akan segera bertunangan dengan Isaac Herion Soeradi."

Senyum yang tadi merekah cerah di pipi Reins seketika menghilang di ganti tatapan membola seakan tak percaya dengan ucapan sang orangtua. Di tengah gemuruh tepuk tangan itu juga sahabat Reins yang tadi ikut jahil dengan Isaac seketika hanya bisa menahan napas ketika mendengar perkataan selanjutnya dari Ayah Reins.

"Isaac Herion Soeradi yang merupakan anak sulung dari pengusaha kain terkenal se-Asia, benar kan pak Widjaja Soeradi? "

"Iya, kami akan segera membuat acara resminya. Semua yang berada disini akan kami udang di acara Reins-Isaac."

Habis sudah riwayat mereka yang membully Isaac. Ternyata dia paruh baya di sebelah kiri Reins adalah orang tua Isaac, bukan tante dan om nya.

****

"Sak, tas gue ketinggalan!" Baru masuk Roza langsung berteriak. Sangat tidak sopan kawan Isaac satu ini

"Isaac," Cicitnya kini lebih kecil. Apalagi melihat keadaan kamar yang lebih berantakan dari sebelum ditinggalkan.

"Gue disini, Za." Suara serak Isaac memenuhi gendang telinga Roza.

Roza mengernyit mendengar ucapan Isaac, tumben sekali lelaki itu pakai kata Lo-gue. Biasanya juga aku kamu.

Ia melihat siluet Isaac duduk di pinggir balkon. Beberapa gelas kosong memenuhi sisi kanan Isaac. Roza mengambil sisi kiri Isaac yang kosong.

Dengan bingung, ia pun bertanya, "Lo minum alkohol?"

"Dikit, " Lelaki itu kemudian terkekeh pelan.

Melihat Roza yang sepertinya ingin pergi Isaac menarik lengan itu. "Mau kemana? Sini aja gue gak bakal gigit kok. Gue belum minum banyak Za."

"Gue takut. Dan mau pulang , Sak."

"Tenang, ada gue disini. Gue gak akan apa-apain lo. Udah duduk sini. " Ia tetap menarik Roza untuk duduk. Akhirnya Roza pun menurut.

"Gue mau cerita."

"Udah gausah cerita. Mending lo tidur aja. Besok lanjut ceritanya." Potong Roza ia merasa hawa malam dan kamar ini semakin tidak enak.

"Emang gue gak sepantas itu ya, Za. Gue kurang apa? Harusnya gue suka sama lo aja Za, biar gue gak disakitin sama Reins. Gue benar-benar benci sama perasaan ini." Isaac menatap Roza, mengunci pergerakan wanita itu. Semakin dalam ia menatap Roza, menyelami mata itu seakan-akan ingin tahu apa yang sekarang tengah Roza pikirkan.

"Bantu gue hapus perasaan ini, Za."

Lalu dengan secepat kilat. Entah apa yang dipikiran Roza, ketika sentuhan ia dapati di bibirnya. Gadis itu pun tidak menolak. Malah ikut hanyut dengan perasaan yang ia punya.

Tenggelam  dalam terciptanya perasaan sementara yang harus ia yakini bahwa ini akan merusak semuanya setelah ia sadar nantinya.

****

To be continued...

Kalo rame aku lanjut nulis lagi, see you :)
Plis jangan di repot

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

We Hug AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang