Delapan

1.1K 270 7
                                    

Arini tidak memiliki musuh, pikir Mak Rodiah yakin. Ia tengah duduk di kursi rotan teras depan rumahnya. Tangannya yang satu menopang dagu dengan siku menekan sisi meja di sampingnya. Kakinya menyilang. Matanya tampak menerawang.

Langit sudah berubah menjadi gelap. Lampu-lampu yang menerangi jalan dinyalakan. Suara makhluk penghisap darah mulai terdengar. Bukan vampir, bukan pula lintah, melainkan nyamuk.

Udara cukup panas di bulan Mei. Tanah-tanah di dalam pot di dekat kaki Mak Rodiah, di ujung teras, kering. Padahal tadi pagi dia sudah menyiraminya. Bunga-bunga yang mekar tampak sedikit layu. Tetapi sekarang, Mak Rodiah tidak peduli.

Dulu, suaminyalah yang merawat bunga-bunga itu. Setelah suaminya meninggal, Mak Rodiahlah yang merawatnya. Itu pun kalau ingat saja. Tanaman di dalam pot-pot itu bukan jenis tanaman mahal. Sebagian besar dipindahkan oleh sang suami dari tepi jalan.

Suaminya tidak tahu nama tanaman itu. Dia juga tidak tahu jenisnya. Pokoknya asal menarik, dia akan membawanya pulang, memindahkannya ke pot.

Biar rumahnya kelihatan adem, katanya dulu, ketika Mak Rodiah bertanya alasan membawa tanaman-tanaman itu.

Mata Mak Rodiah termangu pada tanaman-tanaman itu. Meski pandangannya tertuju ke sana, pikiran Mak Rodiah jalan-jalan. Bukan secara harfiah, tentu saja. Ia bukan zombie. Meskipun secara sekilas tampak mirip.

Ia memikirkan Arini. Mak Rodiah mengingat-ingat, selama bertetangga dengan Arini, apakah wanita itu pernah ribut dengan orang lain? Sepertinya tidak.

Arini orangnya sopan. Jika ada tetangga yang hajatan dia menyempatkan waktunya untuk membantu. Tidak ada tetangga yang tidak menyukainya, kecuali Sulis, tentu saja. Dari dulu dia memang ingin merebut Ilham. Tetapi, Sulis tidak mungkin menculik Arini hanya supaya Ilham berpaling kepadanya. Atau ... benarkah begitu? Mak Rodiah menyimpan kemungkinan itu.

Ia lalu mengira-ngira, siapa lagi yang tidak suka pada Arini? Ia membayangkan wajah ibu-ibu yang tergabung dalam grup kumpulan emak-emak-selain Sulis-satu per satu. Ia menduga-duga, siapa kiranya yang membenci Arini, yang nekat menculiknya? Jawabnya tak ada.

Bu Yayuk memang sombong. Ia selalu memamerkan kebahagiannya di status WhatsApp dan Instagram, juga setiap ketemu, tetapi dia tidak pernah senggolan dengan Arini. Bu Sandiman sosok yang gila hormat. Dan, Arini selalu bersikap hormat padanya. Ibu-ibu yang lain memang mengagumi paras Ilham dan menyayangkannya menikah dengan Arini. Tetapi, mereka hanya berani berbicara di belakang saja. Di depan, mereka seperti siput yang sekali disentuh lansung sembunyi. Tak ada yang berani melakukan aksi. Apalagi menculik.

Ia lalu mengingat latar belakang tetangganya yang hilang itu. Dari yang pernah diceritakan Arini, ibunya meninggal ketika dia masih kuliah. Sedangkan ayahnya meninggal beberapa tahun yang lalu. Waktu itu Mak Rodiah tidak melayat. Sebab, ia telat mengetahui kabar itu.

Waktu itu Arini pamit pulang ke kampung halaman secara mendadak. Dia bilang ayahnya sakit dan akan menginap beberapa hari untuk merawatnya. Seminggu kemudian Arini kembali dengan membawa kabar bahwa ayahnya sudah meninggal dan sudah dimakamkan.

Arini memang begitu. Kalau masalah pribadi, dia terlalu tertutup. Dia jarang membicarakan masalahnya kepada orang lain. Kalaupun ada orang yang membuatnya tidak suka atau tidak nyaman, dia akan memendamnya.

Beberapa kali Mak Rodiah mencoba membuat Arini membuka diri. Usahanya tidak terlalu sukses. Setiap sang tetangga akan menceritakan sesuatu tentang dirinya, ada saja gangguan. Kemajuan yang paling signifikan adalah ketika kejadian aneh dua hari lalu, ketika Mak Rodiah menemukan sang tetangga terbaring di lantai kamar dengan tubuh gemetar dan ketakutan, ketika dia malah melupakan sumber ketakutan Arini.

Ny. Prasangka (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang