Tujuh

1.1K 296 15
                                    

Makan malam di rumah Mak Rodiah berlangsung tidak biasa. Beberapa kali di antara suapan demi suapan, mata wanita tua itu melirik anaknya dengan waspada. Pasalnya ia takut Pak RT tiba-tiba datang dan memberitahunya tentang hasil investigasi terhadap Ilham. Lanang pasti akan marah kalau tahu dia ikut campur urusan orang lain.

Malam itu Mak Rodiah makan dengan kurang selera. Ratih memasak ayam rica-rica. Kalau disajikan di acara Master Chef, ia yakin dewan juri akan dilarikan ke rumah sakit karena lidah mereka tiba-tiba kejang.

Mak Rodiah saja bingung, sebenarnya itu masakan apa? Namanya saja ayam rica-rica, tapi rasanya seperti air diayamin. Hambar, aromatiknya kurang, warnanya juga pucat pasi seperti mayat. Memang mayat, sih, mayat ayam.

Biasanya, untuk makan malam Mak Rodiah-lah yang memasak. Namun, badannya tadi terlalu sakit karena kipas angin. Setelah jalan-jalan sore, rasa sakit itu hilang tak berbekas. Mungkin rasa itu hilang

karena pikirannya teralihkan oleh kasus Arini.

Wanita yang sudah kembali memakai daster itu tak berani memprotes masakan Ratih. Pasalnya, Lanang tampak menikmati masakan istrinya. Ia makan dengan cepat. Mak Rodiah bertaruh bahwa Lanang melakukan itu karena tak ingin membuat lidahnya menderita lama-lama.

Berbeda dengan Lanang, Ratih makan dengan ogah-ogahan.

"Kamu kenapa?" tanya Mak Rodiah memperhatikan mantunya. Ia mencoba menelan ayam itu dengan susah payah.

"Enggak tahu, Mak. Tiba-tiba nggak nafsu makan."

Lanang yang sudah selesai makan, menyingkirkan piringnya ke bak cuci. Ia lalu meletakkan punggung tangannya ke dahi sang istri. "Kamu sakit?"

Mak Rodiah tersenyum. Duh, perhatian sekali anaknya itu. Kalau sudah begitu, Mak Rodiah mendadak lupa segala kekurangan sang anak. Setengah mati, ia bangga terhadap Lanang. Bahkan, ia berpikir, mana ada lelaki sebaik anaknya di dunia ini? Imposible bin tidak mungkin.

"Nggak tahu, Mas. kayaknya-" Belum selesai berkata, Ratih mual. Beberapa kali ia membuka mulut, tampak akan memuntahkan sesuatu. Mak Rodiah reflek menengadahkan tangan di depan sang mantu, bersiap menampung segala sesuatu yang akan keluar. Tetapi, ketika ingat bahwa Ratih bukan sultan yang akan memuntahkan emas, ia kembali menarik tangannya.

Ratih tak kuat menahan mual. Ia berlari ke toliet dan muntah di sana. Lanang yang khawatir mengikutinya, tetapi tak diperbolehkan masuk oleh istrinya. Akhirnya, ia menunggu di depan pintu toilet.

Tuh, kan! Yang masak aja muntah ngicipin masakannya sendiri, apalagi orang lain, batin Mak Rodiah. Ia membereskan meja makan. Setelah rampung, ia meninggalkan mereka dan keluar rumah. Matanya mencari sosok yang bakal menimbulkan rasa deg-degan. Bukan deg-degan karena cinta, melainkan deg-degan karena khawatir.

Ia melirik rumah di sebelahnya. Pintunya terbuka. Seberkas sinar menerangi lantai di depan pintu, sedikit lebih terang dibanding lampu halaman. Mobil putih milik Ilham terparkir di halaman. Sebuah sepeda tampak terparkir di dekat mobil, tak jauh dari gerbang yang terbuka setengah. Mak Rodiah tahu persis pemilik sepeda itu. Bapak kebanggaan para ibu komplek alias Pak RT.

Sepeda itu bukan sepeda masa kini yang harganya bisa mencapai puluhan juta, yang dapat dilipat-lipat seperti kertas origami. Sepeda itu berupa sepeda onthel lama berjenis perempuan. Untuk mengetahui jenis sepeda itu, perempuan atau laki-laki, kita tidak perlu mengintip anunya. Sepeda onthel tidak memiliki aurat yang harus ditutupi, apalagi anu. (Dimohon kepada para pembaca untuk tidak membayangkan hal yang bukan-bukan!)

Yang membedakan sepeda itu pria atau wanita adalah rangka depannya. Jika rangka itu memanjang dari bawah stang ke sedel, maka disebut laki-laki. Sebaliknya, jika rangka sepeda itu turun, jauh ke bawah sedel disebut perempuan. Sepeda itu begitu khas, unik, dan kuno. Di perumahan tersebut hanya Pak RT yang memilikinya. Dia membeli sepeda itu dulu sekali, ketika masih sekolah SMP.

Ny. Prasangka (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang