Sembilan

1K 274 19
                                    

"Oi!" seru pengendara motor dengan tubuh gemetar karena kaget. Ia berhasil mengerem tepat waktu. Meski hal itu membuat bannya selip, tetapi ia dapat mempertahankan kesimbangan. Setelah aman, ia mematikan mesin, membuka helm, lalu turun. "Kalau ada motor lewat itu minggir, bukannya malah teriak! Dasar bego! Nenek-nenek kebanyakan nonton sinetron ya gini, nih!"

Mak Rodiah yang juga gemetar tak terima disalahkan. Apalagi oleh bocah kemarin sore. Pengendara motor itu seorang pemuda dengan rambut warna-warni. Bibirnya dipasang tindik berbentuk lingkaran. Kalung dari rantai melingkar di lehernya, menjuntai hingga ke dada. Ia tinggi dan kurus. Jelana jins yang dipakainya sobek di banyak tempat. Kausnya hitam dengan gambar lidah yang menjulur, seolah mengejek siapa saja yang memandangnya.

"Enak aja ngatain orang! Kamu yang goblok! Masa nabrak nenek-nenek di tengah jalan aja nggak becus!" balas Mak Rodiah mendorong dada sang pemuda. Matanya berkilat-kilat penuh amarah.

Pemuda itu berniat membalas tetapi tertahan. Emosinya bercabang antara marah dan bingung. Dia marah karena dikata goblok, tetapi bingung karena dikata tak becus menabrak nenek-nenek di tengah jalan. Dan, dia tak tahu emosi mana yang lebih dominan. "Lah ...." Akhirnya hanya kata itulah yang mampu keluar dari mulutnya.

Kebingungan sang pemuda membuat Mak Rodiah semakin mencerocos, "Ngendarai motor tuh pakai mata!" Ia menunjuk pelipisnya dengan menggertakkan gigi. "Pakai ini juga! Jangan cuma jadi pajangan! Enak aja nyalahin orang! Periksa dulu kalau mau mengendarai sesuatu. Jangan langsung tancap gas aja. Untung kamu nggak nabrak aku. Kalau sampai nabrak, aku nggak bakal lepasin kamu. Mati pun nggak akan aku lepasin! Asal kamu tahu ya, siapa pun yang nabrak aku bakal terkutuk seumur hidup. Jodohnya jauh, rezeki seret. Kamu mau hidup kayak gitu?"

Sang pemuda menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Ia bingung harus bagaimana menanggapinya. Akhirnya ia hanya menggeleng.

"Kamu bukan orang sini, ya?" tanya Mak Rodiah memicingkan matanya. Ia memandang sang pemuda dengan penuh selidik. "Mau ke rumah siapa? Ada hubungan apa kamu sama penghuni perumahan sini?"

"Eh?" Baru sekarang ia menemui emak-emak model wanita tua itu, yang terancam ditabrak bukannya memusuhi malah menginterogasi. Jangan-jangan, dia pensiunan polisi? Batin sang pemuda bertanya-tanya. Wah, backingannya kuat, nih. Gawat!

Pemuda itu mundur teratur. Nyalinya langsung menciut. Pasalnya dia ke sini untuk mengapel gebetannya. Gebetannya itu bertempat tinggal di perumahan ini.

Dia yakin wanita tua itu pasti salah satu tetangganya. Dia sedang berusaha menampilkan citra cowok kulkas-cool dan memiliki kas yang penuh alias kaya-di depan sang gebetan. Jadi, seandainya gebetannya tahu tentang kejadian ini, kesan cool-nya pasti jatuh. Dia tak mau hal itu terjadi.

Dan, jika wanita tua itu benar memiliki backingan polisi, dia pasti bakal dipenjara. Mau ditaruh mana mukanya seandainya dia dipenjara? Bukannya apa-apa. Nanti kalau di sana ditanya napi lain tentang kesalahannya, dia bakal menjawab apa? Menabrak nenek-nenek tapi gagal? Bah! Sungguh tidak keren sama sekali. Apa kata orang-orang nanti?

Tak mau menambah suram masa depannya, pemuda itu pun memutuskan mundur. Sembari hatinya menyumpah, ia kembali ke motor, memakai helm, lalu melaju, meninggalkan Mak Rodiah yang tersenyum puas.

Wanita tua itu menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ia meredamkan amarahnya.

Setelah mencerocos tadi, hatinya berangsur tenang. Ia tak gemetar lagi. Baginya, mencerocos merupakan salah satu cara menenangkan diri. Kalau kata anak muda gaul, cerocos adalah jalan ninjaku.

Ia lantas melanjutkan perjalanannya ke barat, mencari kitab suci. Oh, bukan, itu kera sakti.

Dia melangkah ke toko di ujung gang. Toko itu tidak menghadap ke jalan di mana Mak Rodiah hampir tertabrak. Dia harus membelok. Ketika sampai di depan toko, ia melihat Bu Yayuk di sana.

Ny. Prasangka (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang