Bab 2

7 0 0
                                    

"Jadi gimana,Has?"

Tanya Ghea di telpon. Hasna baru saja selesai mandi. Om Raga masih menenangkan dan menemani ibunya di kamar. Hasna melihatnya tadi saat melewati kamar ibunya.

Hasna menatap dirinya di cermin. Dia sedang bersisir sementara tangan satunya memegang ponsel.

"Kayaknya enggak dulu deh,Ghe. Kapan-kapan deh,"tolak Hasna.

Terdengar suara kecewa dari Ghea. "Yahh,padahal gue udah ngomong sama bokap. Kita berangkatnya minggu depan,kok. Kalau lo mau istirahat dulu minggu ini masih bisa,"bujuk Ghea tak menyerah.

Ghea tertawa. "Haha,kek nya lo mau santai-santai dulu ya. Soalnya baru awal libur."

Hasna menaruh sisir lalu berjalan ke ranjang. Dia membaringkan tubuhnya dan menaruh ponselnya di kasur dekat telinga. Hasna menatap langit-langit kamar. Memikirkan harus bagaimana lagi untuk menolak ajakan Ghea.

"Iya nih,haha."

Hasna berharap dengan ini Ghea berhenti membujuknya. Hasna benar-benar tak tertarik untuk mengikuti kegiatan pesantren walaupun hanya seminggu. Hasna bertekad untuk belajar materi untuk semester dua selama liburan ini. Dia ingin nilainya meningkat agar dia bisa masuk ke universitas impiannya.

"Tapi,kalau mau kabarin aja. Gue tutup ya. Assalamulaaikum," ucap Ghea masih bersikeras.

Hasna menghembuskan napas kecil berusaha sabar.

"Iya,waalaikumsalam," ucap Hasna dengan senyum.

Setelah itu telpon diakhiri. Hasna menutup mata sambil menghembuskan napas. "Memangnya bagusnya apa coba?"

Hasna melirik meja belajarnya. Pialanya berdiri di meja belajarnya. Dia lalu kembali menatap ke langit-langit kamar. Dia bertekad harus masuk ke universitas impiannya yang ada di kota lain. Dengan itu dia mempunyai alasan untuk pergi dari sini.

"Ngapain juga belajar agama. Toh,Allah gak kasih dunia buat gue,"guman Hasna.

Kalau saja dia terlahir di keluarga seperti Ghea,apakah dia juga akan bahagia?

Suara ketukan membuat Hasna menoleh. Raga sudah berdiri di ambang pintu menatap khawatir padanya. Hasna lalu beranjang duduk. Raga melangkahkan kaki dan duduk di sisi ranjang.

"Om kan udah bilang jangan bicara dulu sama mama," ucap Raga lembut.

"Selama ini aku gak bicara kok. Aku cuma mau kasih tahu prestasi aku aja," Hasna mengalihkan pandangannya."Kali aja mama berhenti benci aku kan,"ucap gadis itu pelan.

"Iya. Tapi kan mama kamu gak kayak mama yang lain," ucap Raga mencari kata-kata tepat agar Hasna tak merasa sedih.

Hasna menoleh cepat. Dia menatap Raga datar. "Iya,aku juga gak kayak anak lain."

"Makanya aku mau nge kos aja. Mungkin aja kalau mama gak liat aku,mama bisa sembuh,"ucap Hasna.

Raga hanya diam. Kata-kata gadis di depannya sangat menggambarkan betapa Hasna ingin keluarga normal. Lalu karena sadar tak akan mendapatkannya Hasna menginginkan pergi dari pada tinggal di keluarga yang tidak lengkap.

"Hasna..." ucap pelan Raga berusaha membuat Hasna mengerti.

"Ah,iya aku baru inget,"ucap Hasna sambil berjalan ke meja belajarnya. Dia mengambil sebuah foto dari sela-sela bukunya. "Kakek yang kasih ini ke aku. Dia bilang harusnya aku tinggal sama ayah aku aja. Ini bener ayah,om?"

Hasna memberikan foto itu. Mata Raga membulat saat melihat laki-laki di dalam foto itu memang benar adalah ayahnya Hasna. Amarah seketika memenuhi hatinya saat mengingat pelaku pemerkosaan adiknya itu. Dia masih mengingat jelas kejadian dan apa akibatnya di hidup Vanan,adiknya.

With AmiinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang