Annabeth, gadis berusia belia yang masih belum mengenal apa-apa tentang dirinya dan bagaimana mesin dunia bergerak, menggerakan tungkainya melewati keramaian. Kakinya menapak tanpa tujuan. Di benaknya hanya berisi kalimat ia ingin pergi jauh dari kebisingan, kemanapun itu, asal bukan rumah.
Pagi tadi ia dibangunkan dengan suara teriakan melengking dari Sang Ibu lalu disusul dengan balasan dari ayahnya. Adu argumen dimulai entah sejak kapan dan Annabeth tidak pernah menyukai itu.
Jika semua orang dewasa seperti itu, ia tidak ingin menjadi dewasa. Ia hanya ingin tetap menjadi kecil, memeluk Si Teddy dan bermain di taman. Kaki kecilnya berhenti berjalan. Ia tiba di depan taman kosong yang memiliki ayunan dan beberapa permainan. Ia menjatuhkan pilihannya pada ayunan tunggal. Mengayuh dan berayun, membiarkan rambut sebahunya terbang diterpa angin. Angin menyapa kulitnya lembut namun Annabeth merasa hari ini sedikit dingin dari biasanya. Mungkin karena ia melupakan cardigan cokelat favoritnya di lantai kamar.
Ia memberhentikan ayunannya dan menatap langit. Awan mulai berkumpul menjadi satu. Burung-burung berterbangan bebas mencari tujuan ke rumah baru.
Annabeth termanggu menatap kakinya yang hanya dialasi oleh sendal rumahan sebelum seekor anjing hitam menyapanya dengan elusan pelan pada kaki kecilnya. Annabeth melihat sekeliling, "Apa kau tersesat? Kemana pemilikmu?"
Gadis kecil itu mengelus anjing hitam itu pelan sembari mengintip ke arah leher anjing itu, ia menghela napas lagi, "Kau tidak memiliki kalung sebagai tanda kepemilikan, kurasa kau bukan anjing rumahan?"
Annabeth kembali menatap kosong kedepan, ada deretan rumah yang terlihat sangat tua dengan hiasan klasik. "Kurasa kita akan menjadi teman." Annabeth kembali menatap anjing itu, "Bisa dianggap aku juga sudah tidak memiliki rumah,"
Anjing itu melolong kecil, ekspresinya terlihat iba. Seketika anjing itu berjalan menjauh, Annabeth menyaksikan anjing itu dengan tatapan nanar. "Apakah kau juga akan meninggalkanku?"
Ajaibnya anjing hitam itu berhenti berjalan dan menoleh ke arah Annabeth seakan memahami apa yang ditanyakan, ia tersenyum lalu menggonggong sekali lalu masuk ke rimbunan pepohonan.
Annabeth tersedar entah sudah berapa lama ia berada di taman itu, perutnya sudah mulai sakit. Angin semakin dingin pertanda hujan akan membasahi bumi. Annabeth melihat seorang lelaki yang mengenakan kardigan cokelat muda, mengingatkannya dengan miliknya. Tanpa ia sadari lelaki itu berjalan ke arahnya. Annabeth melihat lelaki itu semakin jelas, perawakannya tinggi, dengan surai madu yang dipotong pendek. Annabeth terkejut melihat wajahnya seperti penuh dengan bekas luka, pasti lelaki itu sudah melewati banyak hal. Apakah ia juga bertengkar seperti ayah dan ibunya di rumah?
Lelaki itu mendudukan dirinya di ayunan sebelah Annabeth. Annabeth menatap pria itu bingung, masih dengan pemikirannya.
Lelaki itu adalah yang pertama memulai pembicaraan, "Kenapa masih berada di taman? Sebentar lagi akan turun hujan."
Anehnya Annabeth merasa hangat mendengar suara pria itu, ia menganggukan kepalanya lalu menggoyangkan kakinya yang masih tergantung diatas permukaan. "Aku tidak ingin pulang."
Pria itu masih mengukir senyum manisnya, "Ibumu pasti mengkhawatirkanmu,"
Annabeth menggeleng, "Bagaimana denganmu? Kenapa-" kedua bola matanya menatap sang lawan bicara.
"Aku Remus Lupin, kau bisa memanggilku apa saja,"
Annabeth mengangguk, "Ya, Tuan Lupin. Kenapa dirimu tidak kembali ke rumah saat sebentar lagi mau hujan?"
Pria bernama Lupin menunjuk rumah di seberang jalan dengan dagunya, "Itu rumahku, tepat di depan taman ini."
Annabeth ber-oh-ria.
Lelaki itu kembali membuka mulutnya, "Sebaiknya kau harus pulang sebelum orang tuamu panik dan menyadari bahwa kau hilang,"
Wajah Annabeth menyendu. Ia mengangguk pelan.
"Nah, sampai jumpa lagi?" Pria itu menggantungkan kalimatnya.
"Annabeth."
"Ya, sampai jumpa lagi, Annabeth. It's nice to meet you." Tuan Lupin berdiri lalu merapikan pakaiannya. Ia memberi senyum sekilas lalu bergerak maju.
"Tuan Lupin, maafkan aku, tapi apakah kau tahu jalan menuju Almington?"
oOo
Rumah dengan cat putih itu terlihat tidak begitu megah namun sangat cukup untuk ditempati. Meskipun terdapat beberapa bagian cat yang sedikit mengelupas termakan cuaca.
Annabeth menatap ragu ke arah pintu bercat cokelat di hadapannya. Ia sangat tidak ingin melewati pintu itu lagi. Ia tidak ingin mendengar suara teriakan dan bentakan lain. Jika boleh, mungkin lebih baik ia memilih tinggal bersama Tuan Lupin atau menjadi pengelana. Entah, Annabeth hanya sudah risi dengan kebisingan.
Tuan Lupin menatap Annabeth yang terlihat enggan untuk masuk. "Kau masih boleh bermain di taman, kau masih ingat jalannya, kan?"
Annabeth menatap Tuan Lupin, senyumnya merekah, "Masih."
Tuan Lupin mengangguk, "Nah, untuk sekarang, kau butuh istirahat. Isi perutmu dan tidur lalu besok kita bertemu di taman lagi, bagaimana?"
Senyum Annabeth semakin mengembang, ia menganggukan kepalanya sebelum melangkah ke pintu masuk, "Baiklah. Terima kasih, Tuan Lupin."
Annabeth menghentikan langkahnya, "Omong-omong, apakah kau sering bertemu anjing hitam di taman depan rumahmu?"
Tuan Lupin terdiam sebentar lalu tertawa, "Iya, dia milikku."
to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Retrouvaille Sérendipiteuse [REVISED]
FanficAnnabeth selalu percaya bahwa segala hal di muka bumi ini selalu terjadi dengan hukum sebab-akibat. Bagi Ann, tak ada yang dinamakan kebetulan sia-sia. Namun, Ann selalu bertanya-tanya alasan mengapa ibunya selalu tersenyum kepadanya dengan ujung bi...