"Padahal sudah sewajarnya setiap manusia tidak sependapat. Tapi mengapa malah mimpiku yang ku tutup rapat?"
''Udah satu tahun loh, May."
Maya mengangkat kepalanya yang sedari tadi sibuk menghitung banyaknya berkas lamaran di atas mejanya. Ia terbelalak ketika mendapati Dimas ㅡyang menatapnya penuh harapㅡ tiba-tiba saja berdiri di depan mejanya. Perasaan baru saja Maya melihat pria itu masuk ke toilet.
Maya menaikan bahunya sekilas. "Gue ngerasa belom punya cukup experience, Mas."
Panggilan 'Mas' yang diucapkan Maya bukanlah singkatan dari Dimas. Maya selalu memanggil Dimas dengan sebutan 'Mas' karena pria itu berusia lebih tua beberapa tahun darinya.
Yang dipanggil 'Mas' selalu meresponnya dengan jengkel. "Dimas aja."
"Mas Dimas, kan! Jangan sok muda, deh. Gue berusaha menghormati, nih."
Dimas menyentil dahi gadis itu. Bagaimanapun ia berkata, Maya selalu memiliki jawaban untuk berdebat.
"Kamu mulai experience-nya aja belum kan, May?" Dimas kembali ke topik awal. "Pacaran, kek. PDKT, kek."
Saat ini juga Maya langsung teringat akan sosok ayahnya yang selalu mengomeli dirinya yang belum saja mengenalkan seorang pria spesial kepada keluarganya. Omelan ayahnya seakan-akan diimitasi oleh pria pemilik nama lengkap Dimas Isfajar.
Sudah dua minggu Dimas memaksa Maya untuk kembali menulis. Bukan karena tidak mengerti dengan keadaan gadis itu sekarang, tapi Dimas sangat mendukung potensi yang ada dalam diri rekan kerjanya itu. Sayang bilamana kemampuan Maya tidak di asah takutnya akan terbengkalai dan gadis itu lupa bagaimana membuat karya tulis.
Ngomong-ngomong tak banyak yang tahu bahwa Maya merupakan seorang penulis dengan nama pena 'Terang Bulan'. Yang mengetahui ini hanya Dimas ㅡyang waktu itu tak sengaja membuka laptop milik Maya dan melihat karya tulisnyaㅡ dan sahabat karib Maya bernama Zara. Sewaktu Dimas tak sengaja mengetahui fakta yang disembunyikan Maya, gadis itu langsung memperingati bahwa jangan sampai fakta itu menyebar. Padahal Dimas sudah siap memberikan pengumuman di kantor.
"Sekarang gue mau PDKT sama orang gimana deh, Mas? Kegiatan sehari-hari cuma kerja. Nggak pernah ketemu orang baru kecuali pelamar. Masa gue mau ngegebet calon karyawan? Kan nggak etis." Maya membela diri dengan mengungkapkan fakta.
Setelah masuk ke dalam dunia kerja, Maya merasa waktunya sangat terbatas. Terlebih ia hampir menangani enam ratus karyawan di perusahaan tempat ia bekerja. Seiyanya ia memiliki libur sebagai waktu luang, yang Maya lakukan hanyalah rebahan. Tidak ada niatan bagi dirinya untuk keluar dan bersosialisasi dengan orang banyak.
Dimas memutar otaknya hingga pada akhirnya pandangan yang semula diarahkan kepada Maya berganti kepada seorang wanita yang berjalan melintasi mereka.
"Hei, Pop." Sapa Dimas kepada gadis yang bernama Popi.
Popi menghentikan langkahnya dan membalas sapaan Dimas. "Oi, Dim."
"Kamu punya temen cowok single, nggak?"
Mendengar pertanyaan Dimas kepada Popi, Maya langsung mencubit lengan pria itu. Memang benar-benar Dimas ini! Apa yang dia lakukan sama saja mempermalukan Maya.
Popi tidak mengerti dan malah menaikan sebelah alisnya. Mungkin saja dalam otak Popi sekarang sedang menduga bahwa Dimas adalah seorang gay.
"Buat Maya." Seakan bisa menebak apa yang sedang Popi pikirkan, Dimas buru-buru melengkapi ucapannya."Kasian tuh, jaman udah pamer ayang, dia masih pacaran sama kerjaannya."
Maya menyipitkan pandangan kepada Dimas seakan memberikan respon tak percaya seorang Dimas bisa seusil itu. "Mas keterlaluan."
Dimas yang menyadari rekan kerjanya itu ngambek segera mengacak pelan surai kecoklatan milik Maya. "Kok keterlaluan? Ini tuh suatu bentuk saya peduli sama kamu biar bisa kembali menjadi kamu yang dulu."
'Kamu yang dulu' adalah sebuah bentuk kode yang artinya 'kembali jadi penulis'. Dimas tidak bisa mengatakan secara gamblang karena ada Popi di sana.
Maya buru-buru menepis tangan Dimas dari kepalanya. "Mas, main sentuh rambut gue! Baru balik dari toilet udah cuci tangan belum?!"
Popi menggeleng-geleng melihat perdebatan di hadapannya. Ia makin tak habis pikir ketika melihat Dimas tetergun selama beberapa detik dan selanjutnya buru-buru berlari ke toilet untuk cuci tangan. Maya mengamuk setengah mati, sampai semua penghuni lantai delapan mendengar umpatan gadis itu kepada Dimas.
Setelah suasana kembali kondusif, Popi berjalan ke arah Maya. Wanita itu menunjukan sebuah aplikasi kepada Maya. "Coba download Tinder aja, May."
Maya tidak mengerti. Ia malah menaikan sebelah alisnya. "Eh, gimana maksudnya, Mba Pop?"
Dengan senang hati Popi menjelaskan. "Lo kalo mau cari pacar coba pake aplikasi Tinder aja, May."
Oh.. Ini soal permintaan Dimas tadi.
"Gue sama si Boyik aja ketemu di Tinder. Dan udah tiga tahun aja nggak kerasa kami pacaran."
Boyik adalah nama panggilan untuk pacar Popi. Semua orang mengenal sosok Boyik karena sering bertemu karyawan lain ketika Boyik menjemput Popi. Maya saja sampai mengetahui bahwa Boyik merupakan pria yang ramah karena tidak ragu untuk menyapa atau mengajak ngobrol ketika menunggu Popi pulang.
"Kita juga bisa match sama cowok yang punya minat yang sama dengan kita. Kayaknya di era teknologi secanggih ini dan waktu lo yang minim untuk bersosialisi, Tinder cocok buat lo."
Maya menggaruk alisnya mendengar penjelasan panjang dari Popi. "Ini Mba Pop marketing freelancer-nya Tinder, kah? Kok, berasa lagi kejar target buat nambah user."
Popi terkekeh. "Hahaha.. Ya nggak lah, May. Gue cuma mau bantu lo aja. Kayaknya udah saatnya lo buka hati buat cowok."
Buka hati buat cowok, katanya.
Maya memaksakan tawa. Ia sama sekali tidak mau terlihat tersinggung dengan kalimat terakhir yang diucapkan Popi. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perkataan Popi. Hanya saja Maya tidak bisa merespon dengan mudah untuk perihal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
GIBRANISME | WAYV AU
Teen FictionSeorang penulis online yang dikenal sebagai 'Terang Bulan' sudah menjalani hiatus selama satu tahun. Hal itu disebabkan ia mengalami 'writer's block'. Sebelum hiatus, pembaca setia 'Terang Bulan' mengomentari cerita bergenre romantis yang dibuat pe...